Oleh: Musri Nauli
Setelah membicarakan tentang hak milik terhadap Tanah, maka juga dibahas tentang “Tanah terlantar”.
Sebagaimana diatur di dalam penjelasan Pasal UU No 5 Tahun 1960 dijelaskan “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Didalam PP No. 20 Tahun 2021 sebagai turunan 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 maka terhadap Tanah yang tidak dimanfaatkan” atau “Tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan” maka “Obyek Tanah terlantar”.
Semangat diterbitkannya PP Tanah Terlantar untuk memenuhi ketentuan Pasal 180 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Makna ini menegaskan Pasal 27 UUPA memang mencantumkan “hak milik hapus apabila karena ditelantarkan”. Pasal 7 ayat 2 UU Cipta kerja justru menegaskan “hak milik yang menjadi Obyek penerbitan Tanah terlantar jikga dengan sengaja tidak dipergunakan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan atau tidak dipelihara sehingga “dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan, dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak atau fungsi sosial atas Tanah tidak terpenuhi lagi.
Sehingga terhadap hak milik Atas Tanah Tetap harus dipergunakan sebagaimana mestinya. Atau dengan kata lain tanah memang tidak boleh ditelantarkan.
Dalam praktek di Pengadilan, salah satu kategori Tanah terlantar juga mengikuti hukum adat. Sehingga putusan Pengadilan yang mendasarkan makna Tanah terlantar berdasarkan hukum adat sesuai dengan makna Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 yang menegaskan hak ulayat ataupun hak Tanah dari masyarakat hukum adat. (*)
Advokat Jambi