Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran sesar Rp2.708,7 triliun. Anggaran tersebut diarahkan untuk sejumlah bidang, seperti kesehatan, perlindungan sosial, pembangunan sumber daya manusia, dan pembangunan infrastruktur.
Secara tak langsung ada dua pos belanja yang cukup membuat risau, yakni, anggaran belanja PNS pada 2022 dinilai cukup fantastis. Pasalnya pemerintah siap menggelontorkan dana hingga Rp400 Triliun. Nominal tersebut setara dengan porsi 15 persen dari belanja negara dalam APBN 2022.
Kerisauan lain dalam APBN 2022, adalah beban untuk membayar bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2022).
Ke dua pos ini lebih tinggi dibandingkan dengan belanja barang dan modal yang sebenarnya memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian nasional. Malahan belanja pegawai justru setara dengan pembayaran utang beserta bunga yang harus dibayarkan pemerintah.
Kembali pada belanja pegawai tahun depan mencapai Rp 400 triliun, meliputi pembayaran gaji dan tunjangan serta pemenuhan kebutuhan utama birokrasi. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah PNS per 30 Juni 2021 adalah 4,08 juta orang. Di mana porsi terbesar adalah instansi daerah dengan 77% atau 3,1 juta orang.
Sementara itu jumlah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Indonesia adalah 49 ribu orang dengan komposisi terbesar juga daerah sebanyak 95% atau 47 ribu.
Selanjutnya untuk masalah hutang yang juga menimbulkan kerisauan, sejumlah kalangan memang menyoroti rasio bunga utang terhadap pendapatan negara yang terus membengkak dalam satu dekade terakhir. Bahwa rasio pembayaran (bunga utang) sebesar 7,51% pada 2012 terus meningkat saat ini dan diperkirakan mencapai 22,05% terhadap pendapatan 2022.
Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada tahun ini yang menyentuh 19,06% dari pendapatan hampir dua kali lipat dari rasio yang disarankan Dana Moneter Internasional (IMF) 7%-10%.
Ini juga bahkan tiga kali lebih besar dari batas aman yang disarankan International Debt Relief 4,6% - 6,8%, atau rasionya sudah mencapai 369% terhadap pendapatan negara, jauh di atas ambang batas maksimal yang direkomendasikan IMF 90%-150% dan International Debt Relief 92%-167%.
Padahal di samping itu, belanja yang mendesak untuk menolong daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan sektor informal masih sangat dibutuhkan pada 2022.
Kebutuhan untuk belanja kesehatan juga tidak kecil. Pemerintah perlu buat prioritas anggaran di saat krisis pandemi masih berlangsung. Termasuk program pemulihan ekonomi di masa transisi pandemi tak boleh diabaikan.
Kini tentu pilihan pemerintah tak banyak, selain berhemat pada belanja pegawai, pemerintah di masa pandemi juga seharusnya memangkas anggaran untuk proyek infrastruktur dan belanja barang, termasuk pilihan untuk menambah hutang baru yang makin membuat APBN kita tertekan dari tahun ke tahun. Karena untuk dua pengeluaran rutin ini saja hampir menghabiskan 1000 triliun dari 2700 triliun anggaran yang kita miliki. *****