Oleh: Djono W. Oesman
Main podcast mirip menerbitkan koran. Kalau isinya nggak seru, pasti sepi viewers. Sampai, Deddy Corbuzier menampilkan gay bernama Ragil Mahardika dengan psangannya, gay Jerman, Frederick. Akibatnya heboh.
PODCAST Deddy berjudul Pasangan ’G4y Viral, Konten Sensiitf’. Publikasi Sabtu, 7 Mei 2022. Durasi sekitar sejam.
Di situ Deddy mewawancarai Ragil dan pasangannya, Frederick. Ragil adalah warga negara Indonesia yang sudah pindah ke Jerman dan jadi WN sana.
Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan Deddy wajar. Terkait pertanyaan banyak orang (sedunia) bahwa, apakah pria jadi gay karena ia sengaja, atau tidak sengaja tapi terjadi akibat pergaulan, ataukah sejak dilahirkan memang sudah begitu?
Contoh pertanyaan Deddy kepada Ragil di video itu: ”Bisa gak, lu jadiin gue gay?”
Jawaban Ragil: ”Kalau untuk sesaat, bisa kali, kalau hanya untuk kepuasan. Mungkin ingin mencoba sesuatu yang baru?”
Jawaban itu sesungguhnya tidak menjawab pertanyaan atau keluar dari fokus pertanyaan. Sebab, bagaimana mungkin pria yang bukan gay, kemudian dijadikan gay, untuk mencari kepuasan? Di mana potensi kepuasannya (dalam perspektif orang bukan gay). Sebaliknya, dalam perspektif orang yang menjadikan Deddy gay, yang berarti orang itu gay, pastinya mendapatkan kepuasan.
Sayangnya, Deddy tidak mengejar dengan pertanyaan baru agar tujuan pernyataan tersebut tercapai.
Tapi, pertanyaan Deddy terjawab (mungkin tidak sengaja) oleh penjelasan Ragil berikutnya. Bahwa, ia merasa terlahir sebagai perempuan meski fisiknya laki-laki.
Ragil menjelaskan, masyarakat salah paham terhadap gay. Masyarakat menganggap, Ragil jadi begitu akibat salah didik orang tua. Atau salah pergaulan.
Ragil: ”Itulah salah paham masyarakat. Aku lahir sudah seperti ini. Aku ini bukan karena dibuat-buat ataupun bukan karena trauma.”
Ia ceritakan, ketika masuk masa puber, segalanya menjadi jelas. Ragil tahu, teman-teman prianya menyukai (bergairah asmara terhadap) cewek. Sebaliknya, Ragil tidak.
Ragil: ”Saya malah suka (bergairah asmara) pada bapak guru olahraga yang gagah.” Setelah itu, ia sedih karena tahu bahwa itu penyimpangan. Dan, penyimpangan psikologi seksual itu jadi bahan ejekan teman-temannya. Ragil diejek dan di-bully. Ia pun sedih.
Logikanya, Ragil remaja tidak mungkin menyukai (bergarirah asmara terhadap) pria dengan risiko diejek dan terkucil. Jadi, ia terombang-ambing antara menuruti kata hatinya, yang berarti diejek teman. Atau, berpura-pura menyukai lawan jenis, tapi tak sesuai dengan jiwanya.
Materi itu informatif. Memberi tahu publik, bahwa begitulah gay. Ada orang yang dilahirkan dalam bentuk begitu. Terus, bagaimana sikap masyarakat menerima kondisi orang yang begitu?
Tapi, masyarakat Indonesia bukan hanya agamais, melainkan sangat agamais. Podcast itu pun jadi kontraproduktif. Atau dikecam banyak orang.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengkritik podcast tersebut. Kritik diunggah di akun Twitter, Senin, 9 Mei 2022.
KH Cholil: ”Saya masih menganggap LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender) itu ketidaknormalan yang harus diobati. Bukan dibiarkan dengan dalih toleransi.”
Dilanjut: ”Yang jelas, pasangan itu (Ragil dan Frederick) sudah masuk podcast-nya (Deddy Corbuzier). Saya berharap yang punya podcast itu paham kalau Islam melarang dan mengutuk LGBT. LGBT itu harus diamputasi, bukan ditoleransi.”
KH Cholil menyatakan, menyayangkan Deddy seolah memberikan panggung kepada LGBT yang semestinya diamputasi.
Tak pelak, warganet ramai mengutuk Deddy. Bahkan, menyoal agama Deddy. Seperti diketahui, Deddy adalah mualaf.
Salah seorang warganet di Twitter menulis begini: ”Bodo amat Ragil dan ’lakinya’ diundang podcast Deddy.”
Dilanjut: ”Itu memperjelas ia mualaf bukannya menjadi lebih lebih baik, tapi malah sebaliknya. Deddy keliru memilih guru agama.”
Komentar pedas itu pun direaksi warganet lain. Sebagian dari warganet merasa penilaian salah atau benar tak perlu diutarakan. ”Intinya, jadi manusia jangan merasa ibadah kita paling bener, ajaran agama kita yang paling baik,” tulis seorang warganet.
Dilanjut: ”Jangan ngeliat org yang ’menyimpang dikit’ lgsung dicap pendosa. Emgnya buku catatan Rokib Atit, kita yang pegang? Di mana salahnya? Terus yang bener kita harus menjaga jarak gitu ya? dari orang kayak Ragil? Sepertinya anda yg salah guru.”
Ribuan komen menanggapi podcast Deddy tersebut. Kebanyakan kontra. Ada juga yang pro. Persis seperti gambaran dua komentator di atas. Terjadi perpecahan pendapat di masyarakat.
Sesungguhnya, sudah satu dekade ini terjadi perpecahan pendapat masyarakat. Terhadap sesuatu yang dipublikasi dan terkait agama. Atau materi yang bisa dimasukkan ranah agama. Sehingga menimbulkan konflik pendapat. Di online, bahkan bisa jadi perkelahian fisik di offline.
Kondisi itu tidak sehat bagi kita, sebangsa. Sebab, dengan berlarutnya konflik pendapat itu, negara kita ketinggalan jika dibandingkan dengan negara yang tidak berkonflik pendapat terkait SARA. Kita kalah maju, kalah sejahtera.
Dan, mayoritas kita tampaknya tak peduli dengan kekalahan itu. Tidak maju dan tidak sejahtera dianggap tidak apa-apa. Terbukti, konflik pendapat terus berlarut. Malah intensitasnya cenderung naik.
Uniknya, kita juga cemburu terhadap negara kaya dan sejahtera. Atau, tepatnya ingin Indonesia seperti kondisi negara yang maju dan sejahtera itu. Dua hal yang kontradiktif.
Masyarakat kurang peduli pada masalah kebangsaan. Masyarakat hanya peduli pada diri sendiri. Pada keuntungan materi untuk diri pribadi.
Bagi Deddy Corbuzier, potensi konflik pendapat itu justru ditampilkan. Ia pasti paham, bahwa topik LGBT bisa menimbulkan heboh. Justru itu yang ia harapkan.
Podcast mirip koran. Kalau isinya enggak seru, pasti bakal sepi viewers. Dan, viewers banyak dapat imbalan duit banyak dari Google Ads. (*)
Antara Podcast LGBT Deddy Corbuzier dan Google Ads
Jumat 13-05-2022,08:54 WIB
Kategori :