Ritus Junjung Pusako merupakan cara turun temurun untuk memulai musim bertanam padi ladang, yang memantulkan kearifan lokal di bidang pertanian, yang dijiwai oleh nilai kebersamaan, kekompakan, dan gotong royong. Ritus ini juga sebagai bentuk kekayaan budaya, yang dapat terus menjadi sumber penciptaan karya dan pengetahuan baru.
BACA JUGA:Auto Glowing, Ini 7 Tips Menjaga Kesehatan Kulit, Selalu Cantik dan Bugar
Hal itu sesuai dengan semangat perayaan Kenduri Swarnabhumi, yang menatap daerah-daerah yang dialiri Sungai Batang Hari sebagai daerah pusat peradaban unggul di masa lalu. Sungai Batang Hari itu sendiri, dua hulunya mengaliri Sarolangun, yakni Sungai Tembesi dan Sungai Batang Asai.
Pelaksana tugas (Plt.) Bupati Sarolangun, Bachril Bakrie mengatakan menjaga tradisi Junjung Pusako, adalah menjaga alam, menjaga sungai, dan menjaga kebudayaan. Adapun bentuk kegiatan dalam Festival Junjung Pusako yaitu senam massal di pagi hari, dilanjutkan dengan parade budaya, penanaman bibit pohon, pentas seni tarian lokal, serta penampilan musikalitas daerah pada malam hari.
Dalam parade budaya ini, masyarakat dari sebelas kecamatan lainnya juga turut serta dengan memamerkan ciri kearifan lokalnya masing-masing. Begitu pula sejumlah murid jenjang SD, SMP, SMA tampak ikut memeriahkan Festival Junjung Pusako dengan berpartisipasi pada senam massal.
Selanjutnya, penanaman pohon Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Tanjung Gagak yang menjadi simbol keikutsertaan masyarakat Sarolangun untuk ikut menjaga kelestarian sungai Batang Hari. Adapun bibit yang ditanam ialah pohon trembesi dan mahoni.
BACA JUGA:Panglima Yudo Margono Mutasi Puluhan Perwira TNI, Ini Daftar Namanya
BACA JUGA:Tanggapan Puan Maharani Soal Nama Gibran yang Dianggap Ideal Jadi Cawapres Prabowo Subianto
Bachril mengatakan, seluruh kegiatan yang muncul dalam festival ini bertujuan untuk mengenalkan dan melestarikan adat istiadat serta sejarah peradaban di sepanjang sungai Batang Hari. Menurutnya, dengan aktivitas yang menggugah semangat kebudayaan, Festival Junjung Pusako menghadirkan peristiwa ketika setiap individu terhubung lagi dengan sejarah dan warisan tradisi.
Sebagai penutup festival, tampil pertunjukan Merencam, yang menggambarkan tradisi bertanam padi masyarakat Desa Tanjung Gagak. Proses dimulai dari prosesi merencam dan bertanam, dilanjutkan dengan gambaran kegiatan ketika padi telah masak, di mana padi digiling dengan teknologi tradisional yang dinamakan kisa.
Dari kisa, padi yang telah menjadi bulir ditumbuk oleh para Ibu dengan lesung dan antan. Maka seterusnya beras ditampian dengan menggunakan niru, hinggga akhirnya diperoleh beras bersih yang siap ditanak menjadi nasi.
Dalam kesempatan ini, Al Haris bersama Irini dan Bachril Bakrie mempraktikan merencam benih padi dengan melubangi tanahnya agar dapat ditanami. Turut hadir dalam festival ini pejabat dari dinas setempat, pegiat dan komunitas budaya lokal, serta seribu pelajar dan masyarakat yang antusias menyaksikan festival. *