JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Gunung Everest, simbol prestasi dan keberanian manusia dalam menaklukkan puncak tertinggi di dunia, kini menjadi saksi bisu dari dampak buruk pemanasan global.
Fenomena ini tidak hanya mengubah lanskap fisiknya, tetapi juga mengungkapkan jejak tragis dari masa lalu yang telah terkubur dalam salju dan es.
Pada awal Juli 2024, berita menggemparkan datang dari lereng Gunung Everest. Akibat dari pencairan yang tak terelakkan, lima mayat pendaki ditemukan muncul di puncaknya yang megah, setelah sebelumnya hilang tanpa jejak.
Dua di antaranya bahkan dalam kondisi kerangka yang membeku, menyimpan cerita mengerikan dari upaya mereka menaklukkan keangkeran puncak setinggi 8.848 meter itu.
BACA JUGA:Hasil Akhir Portugal Vs Slovenia, Menang Adu Penalti, Ronaldo Cs ke Perempatfinal
Sejak tahun 1920, sekitar 300 jiwa telah dikenang di Everest, kehilangan nyawa dalam upaya berani menembus ketinggian dan cuaca yang mematikan.
Dalam tahun 2024 sendiri, delapan pendaki telah kehilangan nyawa mereka, sementara rekor tragis pada tahun 2023 mencatatkan angka yang lebih mengerikan, dengan 18 korban jiwa.
Para ahli dan anggota militer yang terlibat dalam operasi pencarian dan pembersihan Gunung Everest memberikan gambaran yang menakutkan.
"Dampak pemanasan global membuat mayat-mayat ini semakin terlihat saat lapisan salju menipis," ujar salah seorang anggota militer yang terlibat dalam upaya pencairan.
BACA JUGA:SKK Migas Gelar Pre IOG SCM & NCB Summit 2024, Ini yang Dibahas
Tidak hanya itu, beberapa mayat yang ditemukan juga menjadi penanda rute pendakian, mengenakan perlengkapan yang masih terjaga dengan baik. Tantangan besar menanti dalam setiap operasi penyelamatan.
"Mengeluarkan jenazah adalah satu bagian, menurunkannya adalah tantangan lain," ungkap Tshiring Jangbu Sherpa, pemimpin ekspedisi militer yang bertugas di Everest.
"Para korban ini harus segera diturunkan; jika tidak, gunung ini akan berubah menjadi kuburan yang tak berujung."