JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID-Power Wheeling, sebuah konsep yang sudah dikenal lama dalam liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi isu panas dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia.
Skema ini memungkinkan pihak swasta maupun negara untuk menjual energi listrik baik di pasar terbuka atau langsung kepada konsumen akhir. Konsep ini terdiri dari dua jenis transaksi: Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
Pada skema Wholesale Wheeling, pembangkit listrik dapat menjual energi dalam skala besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah operasionalnya. Sementara itu, **Retail Wheeling memberikan kebebasan bagi pembangkit listrik untuk langsung menjual listrik ke konsumen akhir di luar wilayahnya, menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai "jalan tol" dengan pembayaran "Toll Fee."
Namun, di balik potensi besar Power Wheeling, penerapannya memunculkan kekhawatiran terkait dampak negatif yang bisa muncul, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, hingga ketahanan energi. Berikut adalah analisis lebih lanjut mengenai dampak dari skema ini:
Dampak Keuangan:
BACA JUGA:Pererat Silaturahmi, FJM Jambi dan SKK Migas-KKKS Sumbagsel Gelar Media Gathering
1. Penurunan Permintaan Listrik
Penerapan Power Wheeling berisiko mengurangi permintaan listrik organik hingga 30% dan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Kondisi ini berpotensi meningkatkan beban APBN, karena negara harus menanggung biaya tambahan.
2. Beban Keuangan Negara
Setiap 1 gigawatt (GW) energi listrik yang dijual melalui skema ini diperkirakan menambah beban negara hingga Rp 3,44 triliun, termasuk biaya Take or Pay (ToP) dan biaya cadangan. Secara kumulatif, hingga 2030 beban ToP bisa meningkat dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau naik sebesar Rp 112 triliun.
Dampak Hukum:
1. Kontradiksi dengan UU Ketenagalistrikan
Power Wheeling bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Skema ini memperkenalkan unbundling yang dapat menurunkan kontrol negara atas sektor ketenagalistrikan.
2. Kompetisi dan Potensi Sengketa
Skema ini juga membuka persaingan di pasar listrik, yang berpotensi mengurangi peran negara. Selain itu, Power Wheeling dapat memicu sengketa terkait harga, frekuensi, dan volume pasokan, yang bisa mengakibatkan gangguan seperti pemadaman listrik (blackout).
Dampak Teknis:
1. Oversupply di Sistem Listrik
Jawa dan Bali sudah mengalami oversupply listrik. Penerapan Power Wheeling, terutama dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT), berisiko memperburuk masalah ini karena sifat pembangkit EBT yang tidak stabil.
2. Peningkatan Risiko Blackout
Energi yang bersumber dari EBT memerlukan cadangan tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik.
Dampak Ketahanan Energi:
1. Jaminan Akses Listrik
Meningkatnya risiko pemadaman dapat mengganggu ketersediaan listrik yang stabil, yang pada akhirnya dapat menghambat akses masyarakat terhadap listrik yang andal.
2. Harga Listrik Lebih Tinggi
Tambahan beban dari skema ToP dan biaya cadangan akan meningkatkan BPP, membuat harga listrik naik, yang tentu saja membebani konsumen dan anggaran negara.
Belajar dari Filipina: Tantangan dari Privatisasi Listrik
Pengalaman Filipina yang sudah lebih dulu menerapkan skema Power Wheeling melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada 2001, memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Kenaikan harga listrik hingga 55% dan seringnya pemadaman menjadi masalah serius yang dihadapi Filipina, tantangan yang sama bisa terjadi di Indonesia jika kebijakan ini diterapkan tanpa persiapan matang.
Tantangan yang Harus Dihadapi Indonesia:
1. Regulasi yang Kuat
Dibutuhkan aturan hukum yang tegas untuk memastikan kepastian hukum antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen.
2. Keberlanjutan Investasi
Power Wheeling memerlukan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Kepastian investasi menjadi kunci keberhasilan skema ini.
3. Beban Subsidi Listrik
Ketika tarif listrik diatur oleh mekanisme pasar, permintaan tinggi dengan pasokan terbatas akan menaikkan harga, yang berujung pada peningkatan subsidi listrik dari APBN.
Penerapan Power Wheeling berpotensi menjadi "benalu" dalam transisi energi, dengan dampak negatif bagi BUMN, APBN, dan konsumen. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam untuk meminimalisir risiko yang mungkin timbul demi menjaga stabilitas dan ketahanan energi nasional.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, kebijakan Power Wheeling sebaiknya ditinjau kembali. Keseimbangan antara liberalisasi dan kontrol negara harus dijaga agar sektor energi tetap mendukung kesejahteraan rakyat dan menjaga kedaulatan energi Indonesia.*