JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Deflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering kali dipandang sebagai tanda kemajuan, namun sebenarnya menyimpan risiko serius bagi perekonomian suatu negara.
Hampir semua negara di dunia telah merasakan dampak pahit dari deflasi. Misalnya, pada tahun 2015, Siprus mengalami deflasi dengan penurunan harga barang dan jasa sebesar 3,4 persen.
Diikuti Rumania pada tahun 2016 yang mengalami deflasi lebih parah dengan penurunan mencapai 3,6 persen. Indonesia juga tidak luput dari fenomena ini, dengan mencatat deflasi sebesar 0,27 persen pada September 2019.
Saat ini, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
BACA JUGA:Rumor Resident Evil 9 Tidak Rilis di PC Saat Peluncuran: Benarkah?
BACA JUGA:Kontroversi P Diddy dan Beyonce: Mengapa Nama Beyonce Terseret?
Berita mengenai kondisi ini menimbulkan berbagai reaksi, di mana beberapa pihak memperingatkan bahaya penurunan daya beli masyarakat, sementara pemerintah mengklaim bahwa ini adalah pencapaian dalam pengendalian harga.
Namun, penting untuk dicatat bahwa deflasi, meskipun tampak positif, dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi perekonomian, serupa dengan inflasi.
Untuk menggambarkan perbedaan antara inflasi dan deflasi, bisa diibaratkan bahwa ekonomi itu seperti mobil.
Inflasi berfungsi sebagai pedal gas yang mempercepat laju kendaraan, di mana harga barang dan jasa meningkat, tetapi pendapatan masyarakat juga bertambah, sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan.
BACA JUGA:Hiu Tutul Terdampar di Pantai Drajid Lumajang, Begini Kondisinya
BACA JUGA:Hukum Sedekah yang Divideokan Menurut Hadis: Antara Riya dan Ikhlas
Sebaliknya, deflasi seperti rem yang memperlambat atau menghentikan kendaraan; harga barang dan jasa turun, tetapi dengan daya beli yang juga menurun, membuat konsumen enggan berbelanja.
Penyebab inflasi dan deflasi pun berbeda. Inflasi biasanya terjadi ketika permintaan barang dan jasa melebihi penawaran yang tersedia, mendorong produsen untuk menaikkan harga.
Sebaliknya, deflasi sering kali muncul akibat kelebihan pasokan di pasar atau pengurangan jumlah uang yang beredar, yang pada gilirannya menurunkan harga barang dan jasa.