JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Di tengah pembahasan hangat terkait rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025, muncul peluang lain. Presiden Prabowo Subianto sebenarnya memiliki wewenang untuk menurunkan tarif PPN bahkan hingga 5%.
Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), meskipun kenaikan tarif PPN telah menjadi amanat undang-undang tersebut.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Fredric Palit, menyebutkan bahwa pemerintah dapat menunda kenaikan atau bahkan menurunkan tarif PPN dengan merujuk pada Pasal 7 Ayat (3) UU HPP. “Betul,” ujar Dolfie saat dikonfirmasi mengenai kemampuan pemerintah untuk mengubah tarif PPN.
Aturan ini memungkinkan tarif PPN disesuaikan antara 5% hingga 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang disetujui DPR, tanpa perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Pengamat pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, juga mendukung pernyataan ini.
BACA JUGA:Warner Bros. dan New Line Cinema Hadirkan
BACA JUGA:The Truman Show: Sebuah Refleksi Tentang Realitas dan Kebebasan Individu
"Terkait pembatalan kenaikan tarif PPN bisa menggunakan Pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 di UU HPP. Jadi tidak perlu menerbitkan Perpu," ujar Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar.
Berikut ini adalah poin-poin penting dalam Pasal 7 UU HPP yang menjadi dasar kebijakan terkait tarif PPN:
Tarif Pajak Pertambahan Nilai:
a. Sebesar 11%, mulai berlaku pada 1 April 2022.
b. Sebesar 12%, yang paling lambat berlaku pada 1 Januari 2025.
Tarif 0% diterapkan untuk ekspor barang berwujud, barang tidak berwujud, dan jasa kena pajak.
Tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Perubahan tarif diatur melalui PP setelah disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam rancangan APBN.