JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID-Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Guspenmigas) menyebutkan ada 3 faktor krusial yang sangat berhubungan dengan pengembangan industri penunjang dan industri utama migas di Indonesia.
Willem Siahaya, Pembina Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Guspenmigas) menyebut tiga faktor utama ini sebagai "Killing Factor", berkembang atau tidaknya industri penunjang migas di Indonesia.
Dikatakan Willem bahwa hanya ada 3 kunci saja yang disebut QCD, Quality, Cost dan Delivery Time. Ini berkaitan dengan political will penggunaan produksi dalam negeri di sektor migas.
"Sekeras apapun pemerintah memperjuangkan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) atau penggunaan local conten untuk Industri migas, ada tiga faktor utama yang sangat krusial yang harus diperhatikan," ujarnya.
Willem menjelaskan, terkait dengan Quality, Indonesia sebenarnya sudah punya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang kemudian ada turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018.
"Disitu sudah jelas bahwa harus pakai produksi dalam negeri. Kalau kita konsekuen, kita itu semua, baik pemerintah maupun pengusaha ini bahwa kalau kita sudah punya, itu kita harus pakai. Ada negara itu gak mau pakai TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) atau apapun, pokoknya kalau sudah produksi tidak boleh masuk," jelasnya.
Kembali ke masalah Quality, lanjut Willem, seluruh pihak harus konsekuen bahwa jika produksi di dalam negeri tersedia, maka semua pihak harus mematuhi yakni tidak perlu impor.
"Kita harus sepakat bahwa kalau produksi dalam negeri sudah ada dan memenuhi standar minimum, harus dipakai. Jadi jangan kualitasnya ditambah-tambahin. Misal yang kita mampu buat 5 meter dia minta 5,5 meter, dalam negeri mampu pressure nya 3.000 Psi, dibikin jadi 3.500 Psi. Ini killing factor," ungkapnya.
Kemudian faktor kedua yaitu cost atau biaya. Willem mengungkap penyebab produksi dalam negeri "sedikit" lebih mahal antara lain adalah banyaknya kewajiban biaya yang harus dipenuhi produsen.
Kalau kita evaluasi itu kewajiban dalam negeri besar sekali. Itu tidak dipunyai produk impor. Coba kalau masukkan, kita pernah evaluasi itu ada 45 persen kewajiban dalam negeri, impor gak punya sama sekali. Untuk Equal, harusnya sama dong, dia (impor) bebas (kewajiban) ya kita (dalam negeri) bebas (kewajiban) juga dong," tegasnya.
Kemudian killing factor yang ketiga, lanjut Willem, yaitu Delivery Time atau waktu pengiriman. Menurutnya ini menjadi hal yang sangat krusial dan menjadi penyebab utama industri dalam negeri kita kalah bersaing.
"Mestinya standar nya itu kan kita buat satu barang produksinya saja itu 6 bulan, ini diminta 2 minggu, 3 minggu, itu kan sudah main mata dengan stockis yang sudah tersedia entah dari mana asalnya selama ini. Itu padahal untuk suplai satu kali ini, kedepannya gak ada jaminan. Itu killing factor," ungkapnya.
Terakhir, Willem mengajak seluruh pihak pemangku kepentingan untuk duduk bersama membahas penyelesaian hal ini. Niat tulus diperlukan untuk memajukan industri dalam negeri demi mencapai kemandirian dan mengurangi ketergantungan dengan negara lain.
Kemudian killing factor yang ketiga, lanjut Willem, yaitu Delivery Time atau waktu pengiriman. Menurutnya ini menjadi hal yang sangat krusial dan menjadi penyebab utama industri dalam negeri kita kalah bersaing. "Mestinya standar nya itu kan kita buat satu barang produksinya saja itu 6 bulan, ini diminta 2 minggu, 3 minggu, itu kan sudah main mata dengan stockis yang sudah tersedia entah dari mana asalnya selama ini. Itu padahal untuk suplai satu kali ini, kedepannya gak ada jaminan. Itu killing factor," ungkapnya. (viz)