Oleh : Agus Puji Priyono
Fungsional Penyuluh Ahli Muda Kanwil DJP Banten
Jikalau kita membeli sesuatu barang di minimarket saat mengantri di kasir untuk membayar nampak samar-samar terdapat informasi seperti berikut : “Bagi pembeli yang tidak menerima struk atau bukti pembelian maka transaksinya akan diberikan secara gratis”. Begitu pentingnya invoice sebagai bukti bagi sebuah transaksi jualbeli. Lalu bagaimanakah dengan PPN yang sekarang berubah tarifnya menjadi 11%? Apa bukti dari adanya pemungutan PPN tersebut? Jawabannya adalah Faktur Pajak. Hal ini disebabkan Faktur Pajak (FP)adalah bukti pungutan PPN yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Dengan kata lain jika tidak ada FP maka tidak ada PPN yang terutang. Maka benar adanya jika FP layak disebut sebagai surat berharga karena nilai yang terkandung di dalamnya dan manfaatnya bagi pembeli sebagai penanggung beban PPN.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tanggal 31 Maret 2022 telah menerbitkan Perdirjen Nomor PER-03/PJ/2022tentang Faktur Pajak yang berlaku mulai 1 April 2022. Aturan baru ini disusun dengan beberapa pertimbangan. Pertama, perlunya aturan petunjuk pelaksanaan terkaitFP bagi pedagang eceran yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur dalam UU Cipta Kerja (UU Cika). Kedua, simplifikasi dalam 1 (satu) peraturan ketentuan mengenai FP yang sebelumnya terpisahdalam beberapa peraturan. Ketiga, memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi PKP dalam membuat dan mengadministrasikan FP. Kepastian hukum dan kemudahan bagi PKP dalam membuat dan mengadministrasikan FP tercermin dalam 10 (sepuluh) ketentuan terbarudalam PER-03/PJ/2022 ini apalagi setelah e-Faktur sukses diimplentasikan secara nasional sejak 1 Juli 2016.
Kepastian hukum menjadi hal yang mutlak di dalam ketentuan perpajakan. Faktur Pajak yang menjadi jantungnya dari PPN sebelum PER-03/PJ/2022 berlaku diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak yang terpisah terdiri dari FP Kertas, e-Faktur, dan FP Pedagang Eceran. Untuk itu kehadiran PER-03/PJ/2022bertujuan untuk simplifikasi dan memberikan kepastian hukum sesuai amanah dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang PPh, PPN dan PPnBM, serta KUP.Di dalam PER-03/PJ/2022 terdapat 7 (tujuh) hal penting yang diatur untuk memberikan kepastian hukum baik bagi penjual sebagai pemungut PPN atau pembeli sebagai penanggung beban PPN.
Pertama, pengisian jenis barang dalam FP untuk 2 (dua) usaha yaitu sektor otomotif harus menyebutkan minimal diisi merek, tipe, varian, dan nomor rangkasedangkan sektor properti tanah dan/atau bangunan harus mengisi minimal alamat lengkap. Kedua, kode transaksi 05 difungsikan kembali untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9A ayat (1) UU PPN dengan tujuan PKP Penjual lebih mudah termonitor karena PPN Masukan yang diperoleh PKP Penjual tersebut tidak dapat dikreditkan. Ketiga, adanya pembatasan waktu upload e-Fakturpaling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur dan jika melebihi maka e-Faktur tidak mendapat persetujuan dari DJP sehingga PKP Penjual terpaksa harus melanggar ketentuan pembuatan FP.
Keempat, pengaturan kembali Faktur Penjualan yang termasuk dalam pengertian e-Faktur jika diunggah (di-upload) dengan menggunakan aplikasi e-Faktur Host to Host (H2H) dan memperoleh persetujuan dari DJP. Kelima, pengaturan kembali FP PKP PE tanpa melihat Klasifikasi Lapangan Usaha Penjual melainkan karakteristik pembelinya yaitu konsumen akhir termasuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Keenam, identitas PKP Penjual/Pembeli dapat menggunakan sesuai Surat Pengukuhan PKP meski dihimbau dibetulkan sesuai dengan keadaan sebenarnya/sesungguhnya.
Ketujuh, guna mengurangi sengketa pajak, PKP pembeli tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya “tidak lengkap” cfm. PER-24/PJ/2012. Hal ini disebabkan karena kesalahan ada pada PKP penjual yang di luar kuasa PKP pembeli. Kesalahan tersebut antara lain seperti alamat pembeliyang berbeda dengan alamat yang tercantum dalam surat pengukuhan PKP, menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) selain yang diberikan oleh DJP, NSFP ganda, tanggal FP mendahului jatahnya, Faktur Pajak ditandatangani oleh pejabat/pegawai yang tidak sesuai spesimen tanda tangan.
Lalu konsekuensi apakah yang terjadi jika penerbit FP tidak mengikuti tata cara pembuatan FP yang baru? Hal ini akan berdampak kepada PKP Penjual akan dikenakan sanksi denda 1% dari Dasar Pengenaan Pajak serta bagi PKP Pembeli tidak dapat mengkreditkan PPN Masukannya. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 13 ayat 5 UU PPN bahwa FP harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani olehpihak yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya.
Kemudahan
Kemudahan administrasi FP menjadi kunci sukses administrasi perpajakan yang modern serta untuk mengurangi kesalahanformil dan tentunya mengurangi biaya kepatuhan pajak (tax compliance cost). Dengan diberikannya kemudahan dalam pembuatan dan pengadiministrasian FP harapannya baik penjual dan pembeli semakin patuh atas kewajiban perpajakannya. Di dalam PER-03/PJ/2022 terdapat 3(tiga) hal penting yang diatur untuk memberikan kemudahan yang sebaiknya dipahami oleh penerbit FP.
Pertama, pengaturan kembali penanda tangan e-Faktur yang semula secara manual melalui pemberitahuan spesimen tanda tangan ke KPP, sekarang cukup dengan mendaftarkan penanda tangan FP pada aplikasi atau sistem e-Faktur. Kedua, aplikasi e-Faktur H2H berlakubagi PKP yang membuat e-Faktur melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan(PJAP) yang telah ditunjuk oleh DJP sebanyak 14 (empat belas) demi keefektifan. Ketiga, Sisa NSFP yang tidak digunakan tidak perlu diberitahukan melalui SPT Masa PPN Masa Pajak Desember ke KPP karena telah terekam di aplikasi e-Nofa.
Terlihat dari 10 (sepuluh) ketentuan dalam Perdirjen Nomor PER-03/PJ/2022 mengandung banyak norma baru. Semoga PER-03/PJ/2022ini lebih memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasibagi para stakeholder. Tetapi yang lebih penting adalah perlindungan hukum kepada PKP Pembelisebagai penanggung beban PPNsemakin terjaga dengan tata cara FP yang baru sehingga tidak ada lagi koreksi PPN Masukan hanya disebabkan karena tidak memenuhi ketentuan administrasi. Apalagi seiring dengan kenaikan tarif PPN baru menjadi sebesar 11% yang efektif berlaku mulai 1 April 2022 bersamaan dengan ketentuan FP baru. (*)