Bagi Didin Siroz, “Seni teater bersifat utuh, teater ditunjang oleh semua cabang seni. Seni rupa, seni musik, seni tari, seni peran dan seni sastra terdapat di dalamnya.”
Di ruang belajar Taman Budaya Jambi (TBJ), seorang pria paruh baya dengan kumis rimbun yang memutih, ditambah tahi lalat di pipi kanannya, duduk bersandar sembari melipat kaki di atas sofa empuk berwarna biru.
Didin Sirojudin saat itu mengenakan kemeja abu-abu, jeans panjang. Sepasang sneakers hitam menghiasi kakinya. Dia tampak menghela nafas dengan tenang. Langit yang murung saat itu, tak membendung hasratnya untuk mengisahkan tiap bagian perjalanan Teater Tonggak.
Berawal dari rasa peduli dan cinta matinya terhadap seni khususnya teater, pria kelahiran Bandung ini bersama dengan rekan-rekan sehobi, sepakat membentuk komunitas seni teater di Jambi.
Pria berusia 58 tahun ini, populer dengan nama Didin Siroz. Dia sudah menjadi anak teater sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kerap bermain teater di saat ada perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj di masjid, membuatnya candu.
Sejak saat itu, Didin Siroz terus mengembangkan minatnya hingga ke bangku SMA. Teater “AH” adalah teater sekolah yang cukup terkenal di Kota Bandung. Nama Didin Siroz pun hingga saat ini masih tersimpan rapi di dalam arsip, sebagai siswa yang pernah aktif di Teater SMAN 1 Bandung tersebut.
Melanjutkan D3 jurusan Teater di Akademi Seni Tari (ASTRI), lalu menyambung S1 Penyutradaraan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), dan lulus sebagai pegawai negeri sipil membuatnya dipindahtugaskan ke Kota Jambi.
Dari tahun 1993 Didin Siroz mengamati perkembangan seni teater di Jambi, ia menemukan bahwa komunitas teater di kota ini sangat minim dan kurang diminati. Tepat pada tanggal 30 April 1999, ia bersama rekan-rekan pelaku seni yakni, Ahmad Rodi (alm) Mang Aloy, Nanang Sunariya, Edi Kuncoro, Raden Irwansyah, Ide Bagus Putra, dan Jefri ADP, sepakat mendirikan sebuah komunitas teater yang diberi nama Teater Tonggak. (bersambung)