Lebih dari setengah abad, Kampung Tempe tetap eksis produksi. Meski harga kedelai mengalami pasang-surut. Justru makin berkembang dengan olahan kedelai lainnya. Berikut penelusurannya.
Hingga kini, Kampung Tempe masih tetap eksis. Letaknya di Jalan Fatahillah, RT 22, Kelurahan Rajawali, Kecamatan Jambi Timur. Di sana, kita bisa menemui sederetan pabrik rumahan olahan kedelai.
Warga RT 22 rupanya tetap konsisten memproduksi kedelai. Meski harga kedelai mengalami pasang-surut, mereka tetap produksi. Pasalnya ini lah sumber kehidupan mereka.
Slamet adalah generasi kedua pemilik rumah produksi tempe. Saat ditemui Jambi Independent Senin (18/10), dia sedang santai dengan kudapan, di teras samping rumahnya.
Dia memakai kaos bermotif abstrak, dengan warna hitam-krim, senada dengan keramik dinding rumahnya. Slamet yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini, tampak ling-lung saat ditanyai mengenai usahanya ini.
Pihak Jambi Independent terkadang harus mengeluarkan suara sedikit keras, ketika bicara dengannya. Sudah berumur, ditambah suara bising mesin. Kami pun diarahkan ke Vera, yang merupakan generasi ketiga dari rumah produksi tempe ini.
Dia sedang sibuk menggoreng irisan tempe. Sebagai penerus tahta, Vera memiliki fokus produksi keripik tempe. Selama tiga generasi, usaha rumahan ini terus berkembang. Awalnya hanya tempe, kemudian merambah ke olahan kedelai lainnya. Seperti tahu dan keripik tempe.
“Kita ada produksi tempe di depan, di tengah tahu, dan di belakang sini, keripik tempe,” ujar Vera. Kata dia, apapun yang terjadi, usaha ini tetap diteruskan ke generasi selanjutnya, termasuk soal harga kedelai. “Ini warisan dari kakek-nenek saya, jadi, jangan sampai terhenti,” ungkap Vera.
Jambi Independent mencoba menjajaki pabriknya. Dimuli dari depan, ada pabrik tempe. Salah seorang pegawai, Fauzan, menuntun kami untuk melihat proses pembuatan tempe. Kata dia, proses produksi tempe dimulai sejak pagi. Ia juga menjelaskan tahapan pembuatan olahan kedelai yang bergizi ini.
“Pertama, kita giling kedelai menggunakan mesin. Terus direbus setelah itu diberi ragi dan difermentasi selama tiga hari. Kalau sudah jadi dibungkus. Dan disebarkan ke pasar Angso Duo paling banyak, kalau pasar yang lain tidak terlalu,” bebernya.
Selanjutnya, kami melanjutkan ke pabrik tahu. Di sana hanya ada seorang pegawai, Dofir nama akrabnya. Ia juga mengatakan proses membuat tahu tidak selama membuat tempe.
“Kalau tahu, kita ambil sari dari perasan kedelai, tanpa fermentasi. Cukup tunggu dingin, tahu jadi dan langsung dipotong. Satu cetakan bisa jadi 196 potong tahu,” ungkapnya.
Nah, usaha olahan kedelai milik Slamet ini, terus berinovasi di setiap generasinya. Agar capaiannya sebagai produksi kedelai terbesar di Kampung Tempe ini, tidak dicuri oleh tetangganya yang juga pengerajin tempe.(*/rib)