Moratorium Sawit Langkah Penting untuk Selamatkan Gambut Jambi

Sabtu 16-10-2021,21:59 WIB

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang sering disebut Inpres moratorium sawit telah berakhir 19 September 2021 lalu. 

Tapi, sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk melanjutkan atau menghentikan kebijakan tersebut. Meskipun banyak pihak berharap, bahkan mendesak agar moratorium sawit dilanjutkan, karena dianggap berdampak baik untuk lingkungan.

Memperpanjang kebijakan moratorium sawit menjadi langkah penting untuk menyelamatkan wilayah gambut di Jambi dari ancaman kerusakan yang lebih parah. Saat ini, sebagian besar kawasan gambut telah rusak karena dibebani izin konsesi.

Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, luas perkebunan kelapa sawit di Jambi mencapai lebih dari 1 juta hektare, dan hampir separuhnya berada di kawasan gambut. Sekitar 70 persen dari total 751 ribu hektare lahan gambut di Jambi telah dibebani izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. 

Lahan basah yang menyimpan jutaan ton karbon itu dikoyak oleh ribuan kanal yang sengaja dibangun perusahaan untuk mengeringkannya. Akibatnya lahan gambut sangat rentan terbakar. Walhi juga mencatat, peristiwa kebakaran 2019 telah menghancurkan 114 ribu hektare kawasan gambut sedang dan dalam.

Kebakaran gambut juga menyebabkan bencana kabut asap yang membuat ribuan masyarakat di Jambi menderita. Lebih dari 63 ribu warga Jambi dilaporkan terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kabut asap saat terjadi kebakaran 2019. Kota Jambi menjadi wilayah dengan jumlah kasus ISPA tertinggi. Data Dinas Kesehatan Kota Jambi sejak Agustus hingga pekan kedua Oktober 2019 tercatat lebih 24 ribu kasus, 60 persen di antaranya anak-anak. Puluhan ibu hamil juga ikut menderita. Lebih dari 1.000 sekolah diliburkan selama kualitas udara memburuk. Kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019 mencapai Rp 12 triliun, angka yang sangat besar jika dibandingkan nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jambi.

Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi juga mencatat, pada 2020 ada 258 desa masuk dalam daftar rawan karhutla, lebih dari 100 desa di antaranya berada di daerah gambut yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Umumnya desa-desa itu berada di sekitar konsesi perusahaan sawit. 

Kebakaran yang terjadi tidak hanya merusak ekosistem gambut, tapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa menyebut, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2019 telah melepas sebanyak 709 juta ton karbon dioksida ke udara. Jumlah itu 22 persen lebih besar jika dibandingkan dengan emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon, yakni 579 juta ton karbon dioksida.

Indonesia diketahui salah satu dari 55 negara peserta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon 29 persen pada 2030.

Pemerintah juga telah menetapkan dokumen strategi jangka panjang (LTS) sebagai upaya menurunkan emisi hingga 540 metrik ton setara karbon dioksida (Mton CO2e) pada 2050. Perpanjangan moratorium sawit merupakan langkah penting tidak hanya untuk mencapai target penurunan emisi, tapi juga menyelamatkan lahan gambut.

Evaluasi Izin

Kebijakan Moratorium Sawit memberikan ruang besar bagi pemerintah untuk membenahi ulang tata kelola sawit yang kadung karut-marut. Selama tiga tahun terakhir, kebijakan ini menginstruksikan adanya penghentian pengeluaran izin perkebunan sawit baru.

 

Meskipun hanya sebentar, tapi instruksi ini setidaknya dapat menghentikan sementara ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut, hutan serta hutan alam yang masih tersisa.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), terdapat 12,8 juta hektare kawasan hutan yang diklasifikasikan sebagai Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit secara legal. Sementara 6,3 juta hektare dalam HPK tersebut merupakan hutan alam. Dengan memperpanjang moratorium sawit luas hutan alam tersebut dapat dilindungi.

Tags :
Kategori :

Terkait