JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. DR. Boy Rafli Amar, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI (25/1/22) menyebutkan ada 198 Pondok Pesantren yang terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme.
Pernyataan itu langsung ditanggapi sebagian kecil kalangan dengan mengeneralisasi seolah BNPT anti-Pesantren, bahkan ada pula yang menuduh itu narasi islamofobia.
“Tentu hal ini perlu dijernihkan agar masyarakat tidak terbawa narasi yang selalu memframing berbagai kebijakan untuk meningkatkan deteksi dini dan kewaspadaan dalam pengertian yang negatif,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid di Jakarta, Sabtu (29/1/2022).
“Sejatinya, data yang disampaikan Kepala BNPT tersebut harus dibaca sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah institusi di depan anggota dewan yang mempunyai tugas pencegahan radikal terorisme,” sambung Nurwakhid.
Ia menjelaskan bahwa data tersebut merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dalam rangka pencegahan radikal terorisme. Hal itu untuk memberikan warning dan meningkatkan kewaspadaan bagi semua stakeholder.
Apalagi, ungkap Nurwakhid, sebagai lembaga koordinator, BNPT telah menerapkan kebijakan dan strategi “Pentahelix” atau multi pihak dengan merangkul dan melibatkan lima elemen bangsa, yakni : 1) pemerintah melalui kementerian/lembaga, 2) komunitas melalui organisasi kemasyarakatan termasuk pondok pesantren, 3) akademisi melalui pelibatan dosen, mahasiswa dan pelajar, 4) dunia usaha melalui pelibatan perusahaan baik BUMN maupun swasta, dan 5) media melalui pelibatan insan media baik cetak, elektronik dan digital.
“Dengan pendekatan multi pihak tersebut, kebijakan dan program pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dibangun atas prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif dengan seluruh elemen bangsa,” tutur Nurwakhid.
Ia menegaskan bahwa hal ini diperkuat bahwa landasan kerja BNPT dilandasi dengan nilai dasar (core velue) yang menjadi pegangan, yaitu akronim dari BNPT (Berintegritas, Nasionalisme, Profesionalisme, Terpuji).
“Karena itulah, sangat tidak benar dan tidak beralasan adanya narasi tuduhan terhadap BNPT yang seolah mengeneralisir dan menstigma negatif terhadap pondok pesantren yang ada di Indonesia, apalagi menuduh data tersebut bagian dari bentuk Islamofobia,” tukas mantan Kabag Banops Densus 88 itu.
Nurwakhid menjelaskan, dalam pelaksanaan program BNPT telah melibatkan para tokoh agama melalui forum gugus tugas pemuka agama BNPT. Dalam konteks pelibatan pesantren, BNPT telah melakukan silaturrahmi kebangsaan dengan mengunjungi pesantren di berbagai wilayah di Indonesia secara berkala.
“Agar tidak keluar dari subtansi dan tujuan data itu disampaikan, saya ingin menegaskan bahwa data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang telah melakukan infiltrasi dan kamuflase di tengah masyarakat dalam beragam bentuk dan kanal,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa berdasarkan data di Kementrian Agama jumlah Ponpes di seluruh Indonesia ada sekitar 27.722. Artinya, 198 pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme tersebut hanya sekitar 0,007 persen yang harus mendapatkan perhatian agar tidak meresahkan masyarakat. Keberadaannya justru akan mencoreng citra pesantren sebagai lembaga khas nusantara yang setia membangun narasi islam rahmatan lil alamin dan wawasan kebangsaan.
Indikasi Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Teror
Nurwakhid menilai masyarakat perlu diberikan informasi dan pemahaman terhadap keberadaan pesantren yang terindikasi memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme. Pengetahuan ini penting disampaikan di samping sebagai bentuk pembangunan deteksi dini dan kewaspadaan, juga sebagai landasan masyarakat dalam memilih lembaga Pendidikan yang kredibel.
Pada kesempatan itu, ia juga mengungkapkan beberapa indikator pesantren yang disebut terafiliasi dengan jaringan terorisme. Pertama, pesantren yang secara ideologis terafiliasi dengan ideologi jaringan terorisme, dan atau melakukan kegiatan ataupun aktivitas bersama di bidang politik maupun sosial keagamaan.
Kedua, pesantren yang secara ideologis maupun organisasi terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat memyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah) dan atau strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah ataupun pengaruh dengan mengembangkan jaringan ataupun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain.
"Ketiga, pesantren di mana oknum pengurus dan atau para santri dari Lembaga tersebut terkoneksi atau terafiliasi dengan jaringan terorisme,” terangnya.
Keempat, lanjut Nurwakhid, pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme.
Di samping kategori pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, ungkapnya, hal yang tidak kalah bahayanya dan penting untuk diketahui masyarakat adalah keberadaan pesantren yang memiliki corak pengajaran dan pendidikan yang mengarah pada pemikiran radikalisme. Setidaknya ada lima indikator yang mencirikan pesantren masuk dalam kategori tersebut.