Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Terlepas dari penurunan ekonomi yang sedang berlangsung karena pandemi Covid-19 dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan, Bank Jambi mampu membukukan laba setelah pajak sebesar Rp 315 miliar (unaudited) lebih di tahun 2021, tumbuh 14, 71persen dari laba tahun 2020.
Hari ini potensi Bank Jambi untuk dikembangkan itu besar. Istilah saya, opportunity for improvement-nya besar. Keberhasilan Bank Jambi membukukan laba adalah suatu prestasi. Dikatakan prestasi, bukan saja nominal laba itu besar. Namun, secara philosofis saya melihat ini keberhasilan mereka menanggalkan "baju sempit" yang selama ini dikenakan BPD se Indonesia.
Bukan rahasia sebenarnya, sebutan bank pembangunan daerah (BPD) telah menjadi "baju sempit" bagi kebanyakan BPD yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah daerah (pemda). Akibatnya, mereka tak memiliki keleluasaan bergerak dan mengembangkan bisnis. Selalu ada faktor politis yang mempengaruhi berkembangnya BPD selain ekonomi.
Dibandingkan faktor ekonomi, faktor politik tak bisa terkelola dengan baik, karena terlalu banyak variabel kepentingan termasuk regulasi yang membuka celah intervensi. Meski sebenarnya, koneksi politik dalam fungsi moderasi berpengaruh positif terhadap kinerja Bank.
Terdapat banyak study yang sebenarnya menunjukan proses politik pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota mempengaruhi BPD. Meski samar, harus di akui pengaruh politik sangat kuat, dalam arti lingkungannya.
Hasil penelitian Fahmi Setiadi, 2017, misalnya, menunjukkan bahwa koneksi politik perbankan di Indonesia berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan serta pengendalian internal tidak memoderasi korelasi antara koneksi politik dan kinerja perbankan.
Di satu sisi, BPD untuk mendapatkan angka pertumbuhan yang lebih tinggi harus ditopang oleh stabilitas politik yang berkelanjutan. Namun sebagai lembaga keuangan Bank juga membutuhkan kemandirian pengelolaan, baik secara makro yang di atur Bank Indonesia, maupun secara mikro operasional oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Disini terjadi dilema.
Namun, dalam hal praktis dan kebijakan, ada postulat yang berlaku bagi Bank Pembangunan Daerah termasuk Bank Jambi, akan sulit maju jika terlalu banyak sentimen politik yang bermain. Itu pasti.
Fungsi bank sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah.
Sehingga jika ada yang bertanya, apa keberhasilannya, tak lain meluruskan paradigma bahwa BPD tak ada bedanya dengan bank umum lain, terlebih secara legal formal. Mereka juga memiliki tantangan dan asa yang sama untuk tumbuh menjadi besar.
Tugas sekaligus tantangan direksi berupaya menghadang intervensi politik masuk ke bank yang mereka pimpin. Harus benar-benar ada suatu tembok yang memisahkan antara politik dan bank. Tembok yang memungkinkan ke dua instrumen ini bekerja sama, tanpa harus mengintervensi.
Tugas BPD tentu saja, menegakkan profesionalisme, tidak mencampurkan politik dengan kehidupan bank. Harus ada suatu tembok antara politik dan bank. Karena hari ini banyak orang yang menganggap BPD mudah diintervensi.
Padahal tidak boleh ada intervensi politik terhadap bank. Bank harus dijalankan sesuai ketentuan perbankan yang begitu ketat. Menurut saya, Environment politik, itu yang benar-benar harus diatasi oleh BPD.
Salah satu bentuk intervensi yang di alami BPD adalah masalah penentuan Direksi dan Komisaris. Kasus yang seringkali terjadi adalah calon direksi “dititipkan” untuk melaksanakan kepentingan si Kepala Daerah.