JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, JAKARTA – Ujaran kebencian dan penghinaan terhadap simbol agama bisa dipidana. Sebab, hal ini berpotensi merusak kerukunan umat beragama.
“Menyampaikan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap simbol agama adalah pidana. Deliknya aduan dan bisa diproses di kepolisian. Termasuk melanggar UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,” tegas Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Minggu (22/8).
Yaqut meminta para penceramah agama tidak menjadikan ruang publik untuk menyampaikan pesan berisi ujaran kebencian maupun penghinaan.
Menurutnya, aktivitas ceramah dan kajian seharusnya dijadikan sebagai ruang edukasi dan pencerahan. Ceramah adalah media untuk meningkatkan pemahaman keagamaan publik terhadap keyakinan dan ajaran agamanya masing-masing. Bukan untuk saling menghinakan keyakinan dan ajaran agama lainnya.
“Di tengah upaya untuk terus memajukan bangsa dan menangani pandemi COVID-19, semua pihak mestinya fokus pada ikhtiar merajut kebersamaan, persatuan, dan solidaritas. Bukan melakukan kegaduhan yang bisa mencederai persaudaraan kebangsaan,” terangnya.
Di sisi lain, Kemenag terus berupaya mengarusutamakan penguatan moderasi beragama. Hal ini dilakukan kepada seluruh stakeholder. Mulai dari ASN, forum kerukunan. Termasuk penceramah dan masyarakat luas.
Ada empat indikator yang dikuatkan. Yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta penerimaan terhadap tradisi. “Dalam konteks ceramah agama, penguatan terhadap empat indikator moderasi ini penting dan strategis. Tujuannya agar para penceramah bisa terus mengemban amanah pengetahuan dalam menghadirkan pesan-pesan keagamaan. Selain meneguhkan keimanan umat, juga mencerahkan dan inspiratif,” pungkas Yaqut.(rh/fin)