BACA JUGA:
- Tren Covid-19 di Tanjab Barat Meningkat, Tercatat 197 Pasien Positif
- Al Haris Dampingi Menteri Perdagangan Tinjau Pasar Angso Duo
Kebijakan satu peta dilakukan melalui tiga tahapan yakni kegiatan kompilasi, integrasi dan sinkronisasi. Melalui kegiatan kompilasi telah terkumpul 83 dari 85 peta tematik dengan persentase pencapaian sebesar 98 persen.
Pelaksanaan kebijakan satu peta sudah hampir rampung. Pemerintah telah berhasil mengompilasi 84 peta tematik dari 85 peta tematik yang ditargetkan. Dengan peta spasial ini, kita bisa lebih fokus mengidentifkasi dan menyelesaikan masalah tumpang tindih antara informasi geospasial tematik yang terjadi di berbagai daerah.
Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 77,3 juta hektare lahan atau 40,6 persen dari total luas wilayah Indonesia yang statusnya tumpang tindih atau overlapping. Hal inilah yang memicu sengketa lahan dan menghambat kepastian.
Hal ini menyiratkan tiga hal terkait tata guna lahan dan penanganan konflik agraria. Pertama, sengketa atau konflik lahan bersumber dari tumpang tindih lahan. Angka 77,3 juta bukan angka yang kecil, dan tentu saja dalam wilayah sebesar itu jumlah orang yang 'terlibat' konflik lahan sangat besar. Ini merupakan garis dasar untuk penanganan konflik lahan.
BACA JUGA:
- Buntut Pernyataan Kontroversial, Menag Yaqut dilaporkan ke Mapolda Jambi
- Diserang Rusia, Presiden Ukraina Tetap Bertahan di Kiev, Akui jadi Target Utama
Kedua, kebijakan satu peta menjadi pedoman geospasial untuk penanganan konflik lahan. Langkah selanjutnya ialah menerjemahkan atau membumikan peta geospasial ke ranah tapak (kondisi lapangan).
Ketiga, diperlukan kerja bersama jajaran kementerian/kembaga dan pemerintah daerah agar kebijakan ini bisa terlaksana optimal.Konflik lahan merupakan puncak gunung es dari ruwet dan kusutnya tata guna lahan di Indonesia dengan varian dampak multidimensional.
Membumikan data geospasial dalam konteks penanganan konflik lahan, data geospasial (DG) harus dilengkapi dengan pemetaan konflik, yang di antaranya meliputi subyek yang berada dalam lokasi atau area spasial, struktur atau relasi sosial, sistem nilai, perangkat budaya, dan kondisi fisik ekosistem.
Data geospasial menunjukkan kondisi ruang bumi, sedangkan pemetaan konflik menyajikan apa isi dari ruang bumi tersebut.Beberapa organisasi penggiat penanganan konflik lahan mengembangkan metode untuk pemetaan konflik lahan.
Makna kebijakan satu peta bukan hanya teknis geospasial, tetapi kebijakan ini ialah kohesi politik kebijakan dengan transformasi budaya teknokrasi. Hal ini sangat relevan dalam percepatan penanganan konflik lahan. Karena selama ini, dalam beberapa kasus, konflik lahan juga bersumber belum sinkronnya peta tata guna lahan antar sektor.
Kebijakan satu peta merupakan sebuah bentuk koreksi terhadap kebijakan-kebijakan masa lalu yang membuat tata guna lahan menjadi eksklusif, tidak transparan, lemah kepastian hukum, bahkan menimbulkan kerentanan sosial. Kerja sama antara para pihak, antar seluruh anak bangsa, tidak memandang asal-usul dan latar belakang sangat diperlukan.****Pengamat***