JAKARTA, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Menteri Keuangan (Menkeu) meyakini bahwa perekonomian Indonesia tahun 2022, bisa tumbuh pasca kembali ke level pra-pandemi pada 2021.
Meski demikian, Covid-19 varian Omicron, tetap menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi tersebut, khususnya kuartal I tahun 2022.
"Berbagai indikator perekonomian di awal tahun ini, juga menunjukan kinerja yang positif," ungkap Sri Mulyani pada konferensi pers virtual, Selasa, 22 Februari 2022 lalu.
Menurutnya, di awal tahun 2022, kinerja APBN cukup baik. Sampai akhir Januari, realisasi belanja negara Rp 127,2 T, Setara dengan 4,7 persen target APBN.
Dia merincikan, belanja pemerintah pusat tercapai sebesar Rp 72,2 triliun atau 3,7 persen target APBN, terdiri dari belanja K/L sebesar Rp 21,8 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp 50,4 triliun.
"Pendapatan negara melanjutkan kinerja yang baik dari tahun lalu, dan diharapkan berlanjut ke depan," ungkapnya.
Kemudian, menurutnya kinerja pajak konsisten tumbuh positif sejak April 2021. Hal ini ditopang oleh semua jenis pajak utama.
Kementerian Keuangan mencatat sampai dengan akhir Januari 2022, pendapatan negara tercapai sebesar Rp 156 triliun atau 8,5 persen target APBN. Pendapatan negara tumbuh 54,9 persen (yoy), membaik dari tahun sebelumnya yang tumbuh negatif 4,2 persen (yoy).
Selain itu, penerimaan pajak tercapai sebesar Rp 109,1 triliun atau 8,6 persen target APBN atau tumbuh 59,4 persen (yoy) didorong pertumbuhan positif komponen PPh Migas, PPH Non Migas dan PPN.
Lebih lanjut, sektor industri dan perdagangan juga terus menunjukan pertumbuhan double digit sejak kuartal II 2021.
Kemudian, sektor jasa keuangan dan asuransi tumbuh positif, karena peningkatan setoran PPh 21, profitabilitas mulai membaik dan berkurangnya restitusi.
Selanjutnya, pertumbuhan sektor pertambangan didorong oleh permintaan global dan peningkatan harga komoditas tambang.
Oleh karena itu, Sri Mulyani optimistis pemulihan ekonomi pada 2022 tetap terjaga, didukung kinerja APBN di awal tahun yang cukup bagus.
Meskipun begitu, dia mengimbau berbagai faktor risiko seperti penyebaran varian Omicron, dinamika kebijakan Amerika Serikat dan China serta perkembangan isu geopolitik, terus diwaspadai serta dimitigasi.