Data Subsidi BBM Dinilai Tidak Jelas, Berantakan dan tak Karuan
Data subsidi BBM dinilai tidak terperinci-Foto : Ricardo-Jpnn.com
JAKARTA, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Adanya rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM mendapatkan respon dari banyak pihak tak terkecuali dari Ekonom.
Salah satunya Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang mengatakan bahwa data jumlah subsidi BBM tidak jelas dan tidak terperinci dengan jelas.
Dikatakannya bahwa seharusnya akumulasi nilai subsidi tersebut terdiri dari dana kompensasi PLN Pertamina, dana subsidi LPG 3 kilogram, subsidi listrik, dan BBM.
Namun, berdasarkan data Kementerian Keuangan tidak dijelaskan secara terperinci dana untuk BBM, LPG, dan listrik.
BACA JUGA:Ada yang Meminta Ubah Alur Cerita Pelecehan, Putri Candrawathi Mendapat Tekanan?
Pemerintah telah memberikan sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena dana subsidi dan kompensasi yang membengkak mencapai Rp 502,4 triliun.
"Ini jadi kecampur, Rp 502 triliun itu tidak spesifik hanya untuk BBM subsidi ada dana kompensasi juga ke PLN," ujar Bhima Selasa 30 Agustus 2022 seperti dikutip dari JPNN.com
Jumlah subsidi sebanyak itu dianggap sangat membebankan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), bahkan menjadi wacana untuk pentingnya menaikan harga BBM saat ini.
Menurut Bhima, sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita.
BACA JUGA:Daftar Harga Emas di Pegadaian Selasa 30 Agustus 2022, Antam dan UBS Ambrol
BACA JUGA:Perkuat Kerja Sama antar Pegawai, PLN UPDK Jambi Gelar Employee Gathering
Disamping itu, Bhima menyebut masih masih banyak subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, bahkan dinikmati oleh industri skala besar yang saat ini belum dan masih jarang pembatasannya.
"Pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran Solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar," ungkap Bhima
Menurutnya, dengan menutup kebocoran Solar, bisa menghemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar merupakan jenis subsidi.
Artinya, pembatasan dan evaluasi terhadap subsidi yang sudah diberikan jangan menaikan harganya karena bisa berimbas ke masyarakat.
BACA JUGA:Dakwaan Jaksa Tak Terbukti, Pasangan Suami Istri di Tanjab Timur Divonis Bebas dari Kasus TPPU
BACA JUGA:Cobain Minum Teh Serai, Manfaatnya Luar Biasa untuk Kesehatan
"Kalau harga naik, yang tidak punya kendaraan ikut terdampak. Atur dulu kebocoran Solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis Pertalite," tegasnya. *
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: jpnn.com