Gejolak Mahasiwa Sebagai Penyampai Kehendak Ilahi
Ilustrasi mahasiswa demo-Ist/jambi-independent -
Oleh : Alfaiz Rayhan Azhim
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Vox populi vox dei suara rakyat adalah suara tuhan begitulah bunyi adagium latin dan suara rakyat dimaknai sebagai penyampai kehendak ilahi, hal ini diaminkan oleh konstitusi dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Gejolak dengan skala besar oleh mahasiswa belakangan ini membuktikan bahwa masih percayanya rakyat untuk menyuarakan pendapat sebagai bentuk kekecewaan karena merasa aspirasinya tak didengar.
Hak untuk menyuarakan pendapat di muka umum secara lisan maupun tulisan merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang harus diakui, dipenuhi, dan dijamin oleh negara dan termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, sebagai bentuk jaminan akan hal tersebut maka payung hukum turunan dari grundnorm itu disediakan yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Menyuarakan Pendapat sebagai Bentuk Pengaplikasian HAM
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia selalu berkaitan dengan kekuasaan negara. Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM menjadi salah satu dari empat syarat negara hukum formal menurut F.J. Stahl.
Korelasi antara HAM dan demokrasi sebenarnya menarik, karena di dalamnya terdapat negara masyarakat dan juga pemerintah, yang menghargai HAM. HAM sendiri sejatinya mengarah pada penciptaan kondisi masyarakat oleh negara sehingga rakyat dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
BACA JUGA:Jelang Akhir Tahun, Dinas Damkar dan Penyelamatan Kota Jambi Lakukan Pemetaan Wilayah Bencana
BACA JUGA:Tegas, Unja Tak Berikan Pendampingan Hukum untuk Dosen Penganiaya Mahasiswa Difabel
Pergerakan Mahasiswa
Pasca gelombang masa mahasiswa yang melahirkan reformasi pada tahun 1998 silam, keran demokrasi mulai dibuka, ditandai dengan kebebasan pers dibuka dan penghargaan HAM dipromosikan.
Hal itu pula yang menjadi acuan dan semangat bagi pergerakan mahasiswa pasca reformasi. Peran mahasiswa sebagai representasi independen dari rakyat sipil menjadi benteng ketiga dalam penyelenggaraan negara yang baik, dalam benteng pertama yaitu legislatif yang berperan mengawasi eksekutif, mengkritik eksekutif dalam setiap langkah kebijakan yang diambil oleh eksekutif, kemudian pasca reformasi munculnya pers sebagai media yang menjadi fungsi kontrol kebijakan eksekutif apabila eksekutif dan legislatif melunturkan kepercayaan publik dari main mata kekuasaan.
Seruan aspirasi yang konstitusional untuk berpendapat dan juga ketidakpercayaan masyarakat atas eksekutif, legislatif, bahkan pers membuat mahasiswa menjadi garda intelektual bagi masyarakat sebagai penyalur aspirasi.
Seruan aspirasi tak dapat didikotomi menjadi aspirasi rakyat ataupun aspirasi politik, karena hal tersebut masih abstrak, di dalam aspirasi terdapat substansi pikiran yang harus didengar oleh pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, karena aspirasi ini muncul dari keresahan dan kesadaran masyarakat akan pemerintahan itu sendiri, maka tidaklah sempurna dalam negara demokrasi tak ada peran rakyat dalam fungsi kontrol dan kritik pemerintah. Karena demokrasi secara filosofis memberikan penghormatan yang tinggi kepada setiap aspirasi individu sehingga rasa tanggung jawab publik terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi, bahkan pemerintahan dapat tumbuh dengan baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: