Paradigma dan Tantangan Dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
--
Salah satu aspek penting dari hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terefleksi dalam intergovernmental fiscal relations. Pelimpahan tugas kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan keuangan (money follow functions). Pendelegasian pengeluaran (expenditure assignment) sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan publik yang tentunya harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan (revenue assignment).
Tanpa pelimpahan ini, otonomi menjadi tidak bermakna. Pendelegasian pengeluaran menjadi salah satu konsekuensi dari desentralisasi menjadikan kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan menjadi kriteria yang penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan menjalankan urusan rumah tangganya.
Dengan kata lain, faktor keuangan menjadi salah satu tolak ukur dalam sebuah penilaian apakah suatu daerah melaksanakan otonominya yang berarti daerah membutuhkan dana untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya.
Pasca reformasi, hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggunakan prinsip desentralisasi fiscal. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia saat era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD).
Awalnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta keagamaan.
Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme transfer ke daerah sesuai asas money follows function.
Tujuan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara, mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan pastisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, mengurangi ketimpangan antar daerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahterahaan masyarakat secara umum.
Argumen ini tidak terlepas dari keyaninan bahwa pembangunan tidak dapat tercapai dengan hanya melalui mekanisme pasar, malainkan memerlukan peran pemerintah melalui kebijakan anggarannya. Adapun jika dikaji lebih lanjut, kebijakan desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari keputusan politik desentralisasi atau politik otonomi daerah yang diambil pemerintah. Otonomi daerah tidak mungkin berhasil apabila tidak didukung sepenuhnya oleh politik fiskal melalui transfer fiskal ke daerah (desentralisasi fiskal) untuk mendukung keberhasilan otonomi daerah tersebut.
Terbaru, pemerintah mencoba memperkuat pilar desentralisasi fiskal lewat regulasi baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terdapat 4 pilar yang melandasi penyusunan Undang-Undang ini. Pilar pertama, meminimalisir ketimpangan vertikal antara jenjang pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten, dan kota, serta ketimpangan horizontal antar pemerintah daerah pada level yang sama.
Untuk itulah terdapat beberapa perbaikan dalam kebijakan khususnya terkait Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk meminimumkan ketimpangan tersebut, yaitu dengan melakukan reformulasi DAU dengan presisi ukuran kebutuhan yang lebih tinggi di mana DAU untuk masing-masing daerah dialokasikan berdasarkan Celah Fiskal tidak lagi menambah formula Alokasi Dasar.
Selanjutnya, DAK yang lebih difokuskan untuk prioritas nasional sehingga DAK Reguler dilebur dalam formulasi DAU. Pengelolaan Transfer ke Daerah yang berbasis kinerja di mana pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal bagi Pemerintah Daerah sebagai apresiasi kepada daerah yang memiliki kinerja baik dalam memberikan layanan publik dengan kriteria tertentu.
Selain itu adanya perluasan skema pembiayaan daerah secara terkendali dan hati-hati, di mana saat ini sudah bisa menggunakan skema Sukuk Daerah yang sebelumnya hanya Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah. Selanjutnya sinergi pendanaan lintas sumber pendanaan yang ada berupa sinergi pendanaan APBD dan Non-APBD seperti Belanja K/L, BUMN/D, Swasta, dan Kerja Sama dengan Pemerintah Daerah lain.
Pilar kedua yaitu mengembangkan sistem pajak daerah dengan mendukung alokasi sumber daya nasional yang lebih efisien.
Kebijakan yang dirumuskan dalam menguatkan sistem perpajakan daerah yaitu melalui harmonisasi pengaturan dengan tetap memberikan dukungan terhadap dunia usaha, mengurangi retribusi atas layanan wajib yang sudah seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah Daerah dengan melakukan rasionalisasi retribusi dari 32 menjadi 18 layanan, menciptakan basis pajak baru melalui sinergi Pajak Pusat dengan Pajak Daerah berupa konsumsi, properti, dan sumber daya alam.
Pilar ketiga yaitu mendorong peningkatan kualitas belanja di daerah karena belanja daerah didanai dari uang rakyat, baik berupa pajak daerah maupun transfer dari Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan untuk bisa memberikan dampak yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.
Untuk meningkatkan kualitas belanja daerah tersebut, dalam Undang-Undang ini diarahkan untuk penguatan disiplin penganggaran dan sinergi belanja daerah, pengelolaan TKDD berbasis kinerja dan TKDD diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik.
Pengaturan belanja daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain batasan belanja pegawai maksimal 30 persen, batasan belanja infrastruktur layanan publik minimal 40 persen selain kewajiban pemenuhan belanja wajib yang lain sesuai dengan amanat pengaturan perundang-undangan.
Pilar keempat yaitu harmonisasi belanja pusat dan daerah, agar dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang optimal sekaligus tetap menjaga kesinambungan fiskal. Dalam RUU HKPD dirumuskan desain Transfer ke Daerah yang dapat berfungsi sebagai counter-cyclical policy, penyelarasan kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pengendalian defisit APBD, dan refocusing APBD dalam kondisi tertentu. Selain itu juga perlunya sinergi Bagan Akun Standar (BAS) sehingga dapat dilakukan penyelarasan program, kegiatan, dan output.
Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah diperlukan sebagai upaya gotong-royong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ditetapkan dan banyaknya jenis program dan kegiatan yang ada di daerah dapat membuat daerah tidak fokus apa yang harus dilakukan.
Hadirnya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini diharapkan dapat memperbaiki desain desentralisasi dan juga otonomi daerah yang sudah ada sejak tahun 2001 sehingga bisa berkelanjutan serta akuntabel.
Meskipun demikian, perubahan regulasi ini juga menghadirkan tantangan bagi penerapannya di daerah. Daerah tentu perlu beradaptasi dengan cepat untuk dapat mempertahankan performa keuangan dengan mengacu pada regulasi baru yang telah ditetapkan.
Tantangan-tantangan ini nantinya diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan koreksi sehingga penerapan regulasi baru yang diciptakan untuk perbaikan sistem keuangan di daerah ini dapat berjalan maksimal.*
MUHAMMAD SYIRAZI NEYASYAH, S.H, M.H
MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: