Oleh : Dr. Noviardi Ferzi & Dr. Dedek Kusnadi
Populeritas dan Elektabilitas menjadi sebuah indikator penting dalam setiap gelaran pemilu, termasuk menjelang pemilihan Walikota Jambi tahun 2024 nanti. Hari ini para calon yang berkeinginan maju telah mulai merancang bangun populeritas dan elektabillitasnya.
Pertanyaanya, dengan waktu yang masih lama, kenapa harus membangun populeritas dan elektabilitas dari sekarang ?
Hal ini dikarenakan upaya membangun dua indikator ini tidak bisa instan butuh proses. Ada dinamika dan interaksi timbal balik antara kompetensi, reputasi dan integritas dalam ruang dan waktu yang mesti dipresentasikan kepada publik, karenanya butuh waktu.
Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer. Memang kedua konstatasi ini ada benarnya. Tapi tidak selalu demikian. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring. Adakalanya berbalikan.
Lalu, kapan saat populeritas tak linear dengan elektabilitas ? Tulisan ini mencoba menjawabnya.
Jebakan Populeritas
Hari ini dalam menuju pilwako Jambi boleh saja ada seorang calon yang begitu populer, dikenal dan diketahui jejak rekamnya secara luas dalam masyarakat, namun, harus hati - hati, karena sesungguhnya ia terjebak dalam populeritasnya sendiri.
Lazimnya populeritas dibentuk dengan memaksimalkan sumber daya demi memperkuat rekatan ingatan publik pada diri mereka. Berbagai metode dan sarana dilakukan, pilihan wajibnya, tentu sosialiasi dengan berbagai pola dan ragam, baik langsung tatap muka, berkunjung ke satu titik ke titik lain, silahturahmi, pola ini bahkan diselingi dengan memberi bantuan sembako untuk menambah daya tarik.
Selain itu dalam rangka membentuk populeritas, sarana media sosial (medsos) juga menjadi keniscayaan tak terbantahkan hari ini. Medsos salah satu instrumen yang paling masif digunakan sebagai perekat ingatan publik akan jagoannya masing-masing. Hal ini dikarenakan media sudah corong informasi pertama bagi masyarakat “community” yang memiliki daya sihir yang mampu merubah paradigma dan cara pandang masyarakat dalam membentuk doktrinasi pada dirinya dan orang lain.
Hari ini setiap kali membuka media sosial (facebook, instagram, twitter, tik tok dan whatsapp), berbagai konten promosi dan iklan para paslon dengan ragam caption yang dikemas dengan narasi-narasi terbaik nan kreatif mendominasi beranda para pegiat medsos. Sehingga melalui proses tersebut telah memunculkan tokoh-tokoh populer ke permukaan.
Kepopuleran tersebut serasa membuat klaim kemenangan telah ada dalam genggaman. Baik di internal calon maupun khalayak pendukung. Narasi dan deskripsi optimis dari sekelompok masyarakat di bebagai warung kopi, pangkalan ojek, kelompok diskusi dan tempat lainnya yang didasarkan akan kepopuleran tersebut.
Namun jangan lupa, proses ini adalah adalah proses politik, sebuah dunia bebas yang penuh dengan teka teki dan strategi. Yang tidak populer bukan berarti diam, bisa jadi yang tidak populer memilih jalan lain ataupun tikungan lain untuk menuju kemenangan sesungguhnya, sebab kemenangan di tingkat populeritas tidak berarti apa-apa jika tumbang di bilik suara.
Faktanya memang, pemain atau masyarakat yang terlibat di ranah sosialisasi, media massa, media sosial tidak sebanding dengan masyarakat secara utuh, bahkan pemain di media sosial cendrung diasumsikan sebagai masyarakat kelas menengah. Popularitas di media sosial juga bisa menipu dan bahkan bisa menjadi ancaman. Suara masyarakat kelas menengah sama nilanya dengan masyarakat kelas bawah.
Di Kota Jambi proporsi kelas bawah jumlahnya bisa 60 - 70 persen dari total jumlah suara. Mereka tidak selalu tercluster dalam kelas ekonomi dan sosial, bahkan keberadaan mereka ada tiap kelas ekonomi dan sosial. Mereka ini cenderung sebagai mayoritas diam (silent majority). Mereka menguasai suara mayoritas, hanya saja mereka diam tidak banyak terdengar di ranah sosial, media massa atau medsos, inilah yang disebut dengan jebakan populeritas.