Memperingati Haul K.H. Abdurrahman Wahid (GUSDUR) ke 12, yang lahir 04 agustus 1940 dan wafat hari rabu 30 desember 2009, tulisan ini hadir untuk memberikan sedikit percikan pikiran terkait demokrasi yang digagas oleh Gusdur. Tulisan ini diambil dari karya penulis dalam skripsi tahun 1996, dimana Gusdur sangat keras mendorong demokrasi dengan aksi yang terkadang kontroversial, upaya lainnya Gurdur membuat Forum Demokrasi (Fordem) yang terdiri dari para aktivis, akdemisi dan agamawan serta kelompok prodemokrasi lainnya.
Esensi dari pikiran Gusdur tentang demokrasi di Indonesia adalah perlunya kultur demokrasi yang selama ini demokrasi dinilainya belum membudaya dengan baik pada setiap warga Negara Indonesia. Menurut Gusdur prinsip-prinsip demokrasi belum dijalankan dengan baik, seperti, yang dikatakan Siswono (1995), menghargai perbedaan-perbedaan, menghargai pendapat orang lain, tidak merasa benar sendiri, sportif dan fairness, menghormati minoritas dan bukan meniadakannya.
Perbedaan pendapat masih dianggap permusuhan. Perbedaan pendapat dalam masyarakat demokrasi merupakan suatu hal yang wajar dan bahkan merupakan prasyarat demokrasi, dimana setiap orang atau kelompok diberikan kebebasan untuk memilih alternatif dalam memperjuangkan aspirasi mereka.
Lemahnya sportivitas, tidak siap merima kekalahan ketidakbenaran pendapat dan keinginan bukanlah berarti kalah, maka tidak perlu ada tuntutan di wujudkan dalam bentuk pertikaian yang berkepanjangan.
Kurangnya menghargai kelompok minoritas, masih ada kecenderungan menganggap kelompok minoritas sebagai batu sandungan dalam menjalankan pembangunan, sehingga mereka harus disingkirkan, demokrasi tidaklah demikian, akan tetapi menganggap kelompok minoritas sebagai asset yang harus dibina dan diberikan peluang yang sama dalam setiap bidang kehidupan.
Gusdur menjelaskan pentingnya isu demokrasi merupakan hal yang dapat mempersetukan beragam arah keterceraian, arah masing-masing kelompok menjadi berpusat bersama-sama menuju arah kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa, jika warga negara Indonesia atau mayoritas umat Islam dapat memperjuangkan proses ini, ia dapat menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi masa depan bangsa.(Aziz, dkk; 1993).
Mahfud, MD menjelaskan ada tiga kunci demokrasi menurut Gusdur, pertama kebebasan setiap orang dalam mengajukan pendapatnya; kedua, kesamaan, dimana setiap orang harus diperlakukan sama; ketiga, penegakan hukum (Kuswandi, 2018).
Pembelaan Gusdur terhadap pers yang menjadi salah satu pilar demokrasi sejak awal sudah dilakukan seperti, pembelaan yang kontroversi terhadap tabloid monitor tahun 1990 yang diberedel, bahkan departemen penerangan dibubarkan, karena dianggap menghambat kebebasan pers.
Pembelaan terhadap kelompok minoritas etnis Tionghoa, kelompok agama dan komunitas yang terzholimi serta pembelaan terhadap keadilan dan hak-hak azazi manusia acapkali dilakukan Gusdur, hal ini semua merupakan tindakan nyata dari prinsip-prinsip demokrasi yang dilakoni Gurdur.
Pemikiran Gurdur tentang kultur demokrasi masih menjadi problem, meskipun sudah berjalan 20 tahun lebih reformasi.
Dari pemilu ke pemilu praktrk-praktek money politik, mahar politik, intervensi politik, perlibatan apratur Negara dan penggodaan terhadap penyelenggara pemilu merupakan lakon dalam pesta demokrasi masih sering terjadi. Hal ini seringkali mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Apakah ini yang dinamakan demokrasi telah menuju kematian yang dikatakan oleh Steven Levitsky and Daniel Ziblatt (2018) dalam buku How Democracies Di?
Di Amerika Serikat yang merupakan Negara yang paling suskes, demokrasi terancam mati, disebabkan adanya tindakan yang otoriter, seperti menyerang media, mengancam tidak menerima hasil pemilu, menuduh lawan politik sebagai penjahat. Begitu juga sebelumnya yang dikatakan Yudi Latief bahwa demokrasi Indonesia telah mati, dimana demokrasi tidak lagi untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan penguasa dan elit (Priyombodo, 2010). Matinya demokrasi ini menegaskan bahwa lemahnya lembaga, pilar-pilar demokrasi dan warga Negara yang tidak berdaya.
Praktek pembelian suara oleh para caleg baik secara berkelompok maupun perorang merupkan perulangan dari pemilu ke pemilu (Wahida, dkk), sehingga terkesan pemilu Indonesia adalah pemilu prosedural. Praktek politik uang yang dijelaskan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenchot (2019) dalam buku Democracy for Sale, Pemilu, Kleintelisme dam Negara di Indonesia menujukkan bahwa institusi-institusi formal dibayangi oleh dunia gelap koneksi personal dan pertukaran Kleintelistik (relasi kuasa antara patron dan kelin). Para politisi mencapai kemenangan dengan cara memberikan uang tunai dan barang kepada pemilih. Praktek lainnya seperti upaya menyuap penyelenggra seperti yang terjadi pada pemilu 2019, dimana yang menjadi korban salah satu komisioner KPU RI. Pelibatan dan intervensi penguasa daerah terhadap ASN juga acapkali terjadi serta adanya mahar politik dalam Pimilihan kepala daerah untuk mendapatkan perahu politik dalam pemilihan.
Kondisi demokrasi yang gelap menunjukkan bahwa kultur demokrasi Indonesia yang diperjuangkan oleh Gusdur belum tegak, tidak membuahkan hasil dan bahkan jauh dari harapan. Untuk itu menghidupkan dan melanjutkan kembali pemikiran dan tindakan Gusdur terhadap demokrasi perlu diupayakan secara terus menerus, tidak hanya lembaga demokrasi, seperti penyelengra pemilu, partai politik, eksekutif, legislative, penegak hukum, tetapi juga oleh para pers, akademisi kampus, mahasiswa, NGO, Ormas, pengusaha dan lembaga-lembaga yang prodemokrasi. Seturut dengan itu harus ada kesadaran bersama warga Negara Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi dengan menjaga kedaulatannya.
Kedaulatan rakyat merupakan harkat dan martabat tertinggi yang tidak boleh dibeli dan direndahkan oleh siapapun, dari rakyat untuk rakyat. Demokrasi Indonesia tidak boleh mati, seiring wafat pejuangnya Gusdur 12 tahun yang lalu. Menghidupkan demokrasi menghidupkan kembali pikiran para pendiri bangsa, termasuk Gusdur.
(Penulis adalah Sekretaris Wilayah ISNU Jambi dan Ketua LSOTF UIN STS Jambi)