Oleh: Musri Nauli
Dalam praktek peradilan, hukum adat telah menjadi bagian dari sistem hukum tersendiri.
Mahkamah Agung di dalam berbagai yurisprudensi sering menyebutkan Hukum adat (customary law) tetap menganut sistem kekerabatan. Baik sistem kekerabatan pihak laki-laki (patriarki) maupun dari pihak Perempuan (matriarki).
Dalam sistem kekerabatan patriarki, yang menganut paham dengan mengutamakan laki-laki, dan anak laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang mempunyai peran publik dan akan meneruskan keturunan, serta kepemimpinan keluarga, sehingga hanya laki-laki dan anak laki-laki yang dapat memperoleh warisan. Sementara perempuan dan anak perempuan, dipandang hanya dapat berperan di ranah domestik (rumah tangga), karenanya tidak memperoleh warisan atau memperoleh warisan dengan porsi setengah dari laki-laki atau bagian yang lebih kecil lagi.
BACA JUGA:Ramalan Karier Berdasarkan Zodiak, Sagittarius, Bekerja Sendiri dan Memanfaatkan Kemandirian anda
BACA JUGA:RUU Sisdiknas Ditolak DPR RI
Lihatlah di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961 dalam perkara Lang Tewas dkk melawan Benih Ginting terkait dengan sengketa kewarisan dalam adat Karo, yang sangat kuat menganut paham patrilineal (garis keturunan ayah). Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Mahkamah Agung atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga di Tanah Karo bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya".
Pertimbangan hukum yang senada, dijumpai pula dalam putusan Mahkamah Agung dalam perkara sengketa kewarisan dalam hukum adat Batak Mandailing, yang juga menganut paham patrilinialisme.
Lihatlah di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 415 K/Sip/1970, Putusan Mahkamah Agung No. 573 K/Pdt/2017, Putusan Mahkamah Agung No. 147 K/Pdt/2017, Putusan Mahkamah Agung No. 1048 K/Pdt/2012, Putusan Mahkamah Agung No.1130 K/Pdt/2017 dan Putusan Mahkamah Agung No. MA No. 4766 K/Pdt/1998.
Dengan demikian, maka melalui Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16 Juni 1971 dalam perkara Usman dkk melawan Marah Iman Nasution dkk menyatakan, bahwa Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama.
BACA JUGA:Kisah Cinta Zodiak Kamu, 22 September 2022, Capricorn, Anda Akan Benar-benar Menikmati hari ini
Dengan telah konsistennya sikap Mahkamah Agung sejak tahun 1961 terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kewarisan, maka sikap hukum ini telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.
Walaupun membicarakan hukum adat, Mahkamah Agung tetap berpedoman kepada Staat blaad No. 23 Tahun 1847, UU Perkawinan, Undang-Undang 7 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskiriminasi terhadap wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women) dan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 tahun 2017 (pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum).
Advokat Jambi.