Proses penyusunan peraturan turunan UU sapu jagat di daerah masih terhambat, bahkan sebagian besar daerah belum menyiapkan draf peraturan pelaksanaannya. Aturan tersebut juga memuat ketentuan terkait fiskal daerah yang merupakan angin segar bagi pelaku usaha dalam konteks perbaikan ekosistem investasi daerah.
BACA JUGA:Hadiri Bazar Bhayangkari, Kapolri: Upaya Dorong UMKM Terus Bertumbuh
BACA JUGA:Miliki Peta Jalan yang Jelas, PLN Dinilai Terdepan Dalam Transisi Energi
Di sisi lain klausul ini menjadi puting beliung tatkala implementasinya menghadapi benturan dengan dinamika di daerah. Dalam kasus praktik pemungutan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), pasca perubahan nomenklatur (yang sebelumnya Izin Mendirikan Bangunan) Kemendagri justru menerbitkan SE No: 011/5976/SJ.
Salah satu pokoknya, jika pemda belum menetapkan Perda tentang Retribusi PBG sampai enam bulan setelah PP 16/2021 berlaku, retribusi PBG harus disetor ke kas negara.
Jelas hal ini mengundang resistensi dari pemda. Pelajaran penting dari persoalan di atas adalah perlunya strategi implementasi yang clear dalam pemberlakuan UU HKPD.
Masa transisi menjadi momentum ‘sakral’ bagi pemda untuk mulai menata kembali regulasi fiskal daerah. Perda PDRD sebagai daya dukung ekosistem investasi dan daya saing daerah seyogyanya menjadi prioritas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Produktivitas legislasi DPRD di daerah menjadi penentu dalam agenda transisi regulasi fiskal daerah.
Dalam rangka menghadirkan kepastian terhadap pelaku usaha dan masyarakat, harus ada kejelasan mengenai pemungutan pajak dan skema transfer daerah. Contohnya, praktik pemungutan opsen.
BACA JUGA:IndiHome Gelar Racing Stars Push Bike Competition 2023
BACA JUGA:Update Pantuan RTMC Ditlantas Polda Jambi, Arus Lalu Lintas Angkutan Batu Bara Ramai, Tapi Lancar
Peraturan turunan wajib menjelaskan secara clear definisi dan konteksnya, apakah opsen menghadirkan pungutan tambahan yang membebani pelaku usaha atau bagi hasil antar pemda? Selain itu, bagaimana maksud Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya dalam klausul transfer keuangan daerah.
Tak kalah penting adalah menghadirkan ruang deliberatif pada proses penyusunan berbagai peraturan turunan. Keterbukaan akses bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam proses legislasi peraturan daerah menjadi modalitas utama dalam menghasilkan produk hukum yang berkualitas untuk menghindari distorsi. Diskursus mengenai perpajakan bukan soal willingness to pay tetapi menitikberatkan pada ability to pay sebagai indikator penentu dalam upaya peningkatan PAD.
Pengaturan tarif dan mekanisme perpajakan diharapkan sejalan dengan upaya penguatan daya saing dan pembenahan ekosistem investasi di daerah. Di sinilah peran masa transisi, di mana proses penyesuaian implementasi UU HKPD dapat dikalkulasikan secara presisi sesuai dengan kesiapan penerapannya di daerah. *