Megathrust Selat Sunda, yang punya panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, tercatat pernah 'pecah' pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
Megathrust Mentawai-Siberut, dengan panjang 200 km dan lebar 200 km, serta slip rate 4 cm per tahun, pernah gempa pada 1797 dengan M 8,7 dan pada 1833 dengan M 8,9.
BACA JUGA:BPIP Gandeng Pemkab Klaten dan Universitas Diponegoro, Kutukan Ideologi Pancasila
BACA JUGA:PKB Merapat, Alfin-Azhar Kian Kuat
Seperti halnya megathrust Nankai, Daryono menyebut gempa di zona megathrust amat potensial memicu tsunami.
"Karena setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami)," jelasnya.
Merespons potensi pecahnya dua segmen tersebut, BMKG sudah menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
BACA JUGA:BREAKING NEWS: Karhutla di Kawasan Pasar 46 Jambi, Begini Kondisinya
BACA JUGA:Waduh! Masa Penahanan Habis, Ko Apex Bebas dari Rutan Polda Jambi
Lembaga ini juga mengaku telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai, dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai).
Hal tersebut dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
"Semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim," tandas Daryono.