JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sering kali dikenal sebagai bangsa yang religius.
Namun, ada sebuah fenomena menarik yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Yaitu adanya perilaku "nakal" yang kontras dengan nilai-nilai agama yang kuat.
Paradox ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat Indonesia dapat memegang teguh kepercayaan religius sambil terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan ajaran tersebut.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa meskipun 87,2% responden mengaku beragama dan aktif dalam kegiatan keagamaan, ada lebih dari 50% dari mereka yang mengakui pernah terlibat dalam perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma agama, seperti berbohong, berzina, atau berpartisipasi dalam perjudian.
Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengakuan religius dan praktik nyata di lapangan.
BACA JUGA:Mengenal Floaters: Penyebab dan Cara Mengatasinya
BACA JUGA:Kewajiban Pedagang Menerima Pembayaran Tunai: Bank Indonesia Pertegas Aturan
Fenomena ini dapat dilihat dalam konteks sosial dan budaya yang kompleks di Indonesia. Banyak masyarakat yang merasa terjebak dalam norma-norma sosial yang ketat, tetapi pada saat yang sama terpapar pada pengaruh globalisasi dan budaya pop yang memungkinkan perilaku yang dianggap "nakal".
Misalnya, survei oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbang Kesehatan) pada tahun 2021 menemukan bahwa 30% remaja di Indonesia terlibat dalam perilaku merokok dan 20% terlibat dalam hubungan seksual di luar nikah, meskipun mereka berasal dari latar belakang yang religius.
Faktor pendidikan juga berperan dalam paradox ini. Di satu sisi, pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia dirancang untuk membentuk karakter dan moral siswa.
Namun, pendidikan tersebut sering kali tidak diimbangi dengan pendidikan moral yang lebih luas, sehingga siswa tidak siap menghadapi realitas sosial yang sering kali bertentangan dengan ajaran agama.
Hal ini menciptakan kesenjangan antara apa yang diajarkan dan apa yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
BACA JUGA:Tips Perencanaan Pensiun Dini: Mengamankan Masa Depan dengan Langkah Tepat
BACA JUGA:One Piece Hiatus: Toei Animation Umumkan Penundaan Hingga April 2025
Persepsi masyarakat terhadap perilaku "nakal" ini juga beragam. Di satu sisi, perilaku tersebut bisa dilihat sebagai pelanggaran norma, tetapi di sisi lain, beberapa orang menganggapnya sebagai bentuk ekspresi diri di tengah tekanan sosial yang ada.