Oleh: Musri Nauli
Di dalam konstitusi telah ditegaskan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. ‘
Makna ini kemudian diturunkan didalam UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menyebutkan “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Makna “Bumi” dapat dilihat didalam kemudian dapat dilihat termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di Bawah air.
Sedangkan pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut di wilayah Indonesia.
Sedangkan kata “ruang angkasa” ialah ruang diatas Bumi dan air.
Demikianlah hakekat dari Agraria yang kemudian diturunkan kedalam UU No 5 Tahun 1960.
Dengan lahirnya UUPA, maka hukum Agraria Indonesia menghapuskan ketentuan “agrarische wet”. Hukum Agraria peninggalan kolonial peninggalan Belanda sebagaimana diatur di dalam Staatsblad 1870 No 55.
UUPA juga menghapuskan tentang makna “Domeinverklaring”. Sebuah cara pandang kolonial yang sama sekali tidak menghargai kepemilikan berdasarkan hukum adat.
Selain itu UUPA juga menghapuskan ketentuan yang berkaitan dengan bumi dan air yang diatur didalam Buku II KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Sehingga tidak salah kemudian UUPA lebih menampakkan corak pandang masyarakat Indonesia untuk menghapus sistem hukum agraria peninggalan Belanda.
Ada juga yang menyebutkan UUPA adalah “Genuine” dari hukum nasional. Melambangkan watak bangsa Indonesia yang berdaulat atas hukum agraria. (*)
Advokat Jambi