Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Di tengah Pandemi Covid-19 telah berdampak kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia, termasuk kepada ketimpangan (gini ratio) di tanah air.
Rasio gini per September 2021 sebesar 0,381, rasio gini ini menurun dari Maret 2021 yang sebesar 0,384 dan juga lebih rendah dibandingkan rasio gini pada September 2020 yang sebesar 0,385. Indeks gini ini makin mendekati nol makin menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin menyempit. Kalau mendekati satu, kesenjangan tinggi.
Namun, Koefisien Gini ini pun belum tentu mencerminkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya.
Ketimpangan terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya ketimpangan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.
Bisakah angka koefisien Gini tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja. Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan. Karena tingkat tabungannya lebih tinggi, tingkat kekayaan kelompok pendapatan tinggi akan tercatat lebih rendah jika yang dicatat adalah pengeluarannya. Otomatis, ketimpangan akan terkalkulasi lebih rendah.
Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya yang melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Under-reporting seperti ini, sangat logis, akan lebih besar di golongan kaya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.
Oligarki Akar Ketimpangan
Akar ketimpangan di Indonesia adalah oligarki ekonomi politik, itu fakta, saat politik yang dirancang oleh para borjuis untuk menopang jalannya ekonomi kapitalistik sebagai sistem ekonomi yang efektif untuk mengakumulasi kapital orang-orang yang diuntungkan oleh politik ekonomi. Pola seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan banyak negara-negara demokrasi di dunia.
Para oligark adalah segelintir orang yang punya kekuasaan karena memiliki uang yang lentur dan serbaguna. Uang berguna membeli barang dan jasa, dan punya status khusus dalam sumber daya kekuasaan. Formulanya sederhana, orang yang punya banyak uang, sekaligus punya banyak kekuasaan politik karena barang dan jasa politik juga ada harganya.
Merunut sejarah, politik ekonomi kita awal kemerdekaan telah menguntungkan segelintir orang-orang kaya pemilik modal. Program Banteng yang digagas Soekarno faktanya telah menyiapkan borjuasi nasional. Para borjuasi ini lantas memanfaatkan momentum ketika ekonomi kita tersambung dengan ekonomi global dan pasar global, lalu muncul perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan skema ekonomi kapitalistik.
Praktek ini membuat kaum elit semakin diuntungkan. Kekayaan material mereka terakumulasi sedemikian rupa sehingga muncul lah oligarki-oligarki pribumi yang tersambung dengan bisnis oligarki di negara-negara lain, yang semakin memperparah konsentrasi kekayaan.
Kondisi ini oleh Winters, terjadi karena adanya ketimpangan dan konsentrasi kekayaan. Karena seseorang sangat kaya raya sementara orang lain sangat miskin, maka orang-orang yang sangat kayalah yang diuntungkan secara politik. Ia memiliki sumber daya material untuk membeli massa, untuk berkampanye memenangkan posisi yang dipilih dalam pemilu yang bebas dan adil, atau untuk membeli figur penentu di kekuasaan untuk melancarkan bisnis-bisnis yang membuatnya berlimpah kekayaan material.
Omnibus Law Monster Oligarki
Undang - Undang Cipta Kerja bagai Monster oligarki, wajah kekuasaan pemerintah saat ini yang mencengkram dan menguasai berbagai sendi kehidupan masyarakat, seperti energi, pertanian, kebebasan berpendapat, hingga kehidupan masyarakat adat.