Oleh : Sebariyani Faomasi Daeli
Biasanya apa yang terlintas saat mendengar Perjanjian perkawinan? Bagi sebagian orang mungkan perjanjian perkawinan merupakan hal yang asing dan beranggapan itu merupakan hal yang tabu untuk dilakukan. Ini dikarenakan anggapan bahwa kurang baik jika berandai-andai memikirkan mengenai harta apabila bercerai sementara perkawinan itu sendiri baru berlangsung atau sedang dalam tahap perencanaan. Tentu berpikir seperti itu juga tidaklah salah, ditambah lagi dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Namun, akan lebih baik jika membuka sedikit lebih luas pemikiran tentang hal tersebut dengan memperhatikan dan mempertimbangkan perkawinan dari berbagai aspek khususnya terkait dengan ekonomi.
Memang ekonomi bukan menjadi hal yang paling utama sebagai pertimbangan dimana dua orang memutuskan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu ikatan yang sah yaitu perkawinan. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa berbagai kasus gugatan perceraian yang masuk ke pengadilan salah satu alasan yang paling sering muncul ialah karena faktor ekonomi. Pada saat perceraian orang-orang baru akan sibuk membahas dan mempermasalahkan mengenai harta.
Harta itu sendiri dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan yaitu Harta Bersama dan Harta Bawaan yang termasuk juga didalamnya Harta Perolehan. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Harta bawaan merupakan harta benda yang diperoleh masing-masing baik itu suami maupun istri pada saat masih melajang atau harta benda yang diperoleh atau dimiliki pada saat belum menikah. Serta yang termasuk juga harta bawaan yaitu harta perolehan yang merupakan harta benda yang diperoleh masing-masing baik suami maupun istri sebagai hadiah, hibah atau warisan. Dari pengertian diatas tentu sudah ada sedikit gambaran mengenai status kepemilikan mengenai harta tersebut.
Maraknya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia ditambah dengan ketegangan pada saat memperebutkan harta tentu menjadi sebuah hal yang tidak asing untuk terjadi khususnya di meja hijau. Perdebatan seperti inilah yang sebenarnya masih dapat diminimalisir apabila ada suatu kejelasan mengenai status kepemilikan harta di awal perkawinan. Salah satu jalannya yaitu dengan membuat Perjanjian perkawinan. Perjanjian ini dapat dibuat dihadapan notaris. Apa yang menjadi kehendak dan kesepakatan dari kedua belah pihak itulah yang kemudian oleh notaris dibuatkan akta notarisnya dan dicatatkan di kantor catatan sipil. Selain itu notaris juga berperan penting melakukan penyuluhan dan saran-saran hukum atau penjelasan baik itu mengenai isi dari pasal-pasal yang akan di cantumkan, apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak nantinya, serta hal-hal lain yang terakait dengan perjanjian perkawinan. Akta perjanjian ini dapat menjadi suatu bukti dari adanya kesepakatan para pihak dalam mengelola harta baik yang mereka miliki secara pribadi maupun bersama. Perjanjian ini dapat dibuat sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, kepatutan atau kesusilaan.
Bagaimana bila para pihak baru menyadari akan pentingnya perjanjian ini setelah menikah? Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, disebutkan bahwa “Pada waktu sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dengan demikian jelas bahwa perjanjian ini tidak hanya bisa dilakukan pada saat sebelum menikah saja melainkan setelah menikah pun juga dapat diadakan perjanjian ini.
Pada intinya, perjanjian perkawinan ini merupakan kesepakatan dari para pihak yang ingin membuat menjadi jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Khususnya dalam hal harta kekayaan yang dimiliki dari masing-masing pihak. Adanya perjanjian ini juga merupakan sebagai pengakuan dari para pihak baik itu mengakui sebagai pemilik atau mengakui adanya harta milik pasangan sehingga status kepemilikan dari harta yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan menjadi jelas. Hukum di Indonesia cukup memberikan perhatian terhadap hal ini karena perjanjian perkawinan itu sendiri masuk ke dalam bagian dalam undang-undang perkawinan. Ditambah lagi pada saat ini perjanjian perkawinan dapat dibuatkan aktanya oleh notaris, sehingga memudahkan para pihak untuk membuat perjanjian yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat. Perceraian merupakan hal yang sangat dihindari untuk terjadi, akan tetapi perselisihan yang mungkin akan terjadi akibat perceraian itu merupakan suatu hal mau tidak mau harus dihadapi namun bisa diminimalkan dengan adanya perjanjian perkawinan ini. Perjanjian perkawinan yang dibuatkan oleh notaris akan sangat membantu untuk para pihak melindungi apa yang menjadi haknya. (*)
Penulis adalah mahasiswi S2 Kenotariatan UNJA