JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Qlue, penyedia ekosistem smart city paling komprehensif di Indonesia, mendorong peningkatan lokalisasi teknologi di Indonesia. Hal itu menjadi salah satu kunci dari pemanfaatan teknologi yang penetrasi sangat tinggi dengan selalu mempertahankan kearifan lokal di Indonesia. Lokalisasi teknologi juga dipandang perlu agar tidak terjadi benturan digitalisasi dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
Founder dan CEO Qlue RaMa Raditya, kemajuan teknologi memiliki potensi untuk mendegradasi kearifan lokal jika tidak dikelola secara optimal. Salah satunya contohnya adalah urbanisasi yang semakin tinggi lantaran perkembangan teknologi cenderung lebih banyak dimanfaatkan di kawasan perkotaan. Kondisi itu mengakibatkan kawasan perdesaan menjadi berpotensi ditinggal penduduknya yang berpotensi mengurangi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat.
Karena itu, lokalisasi teknologi menjadi vital demi mendorong sinergi yang lebih optimal antara kemajuan teknologi dan kearifan lokal dalam memanfaatkan potensi ekonomi digital di Indonesia. Sebab, penetrasi teknologi yang mayoritas berasal dari luar negeri tidak otomatis menjadi jawaban atas persoalan yang terjadi di suatu wilayah. Dengan didukung data-data yang komprehensif, lokalisasi teknologi menjadi lebih signifikan manfaatnya dalam menjadi solusi bagi masyarakat.
“Suatu hal yang signifikan adalah mengakomodir pasar yang ada. Jadi tidak hanya fokus mengembangkan teknologi, tetapi juga mengadaptasi teknologi untuk menjadi solusi atas sebuah masalah. Secara talent, Qlue memiliki engineer yang berasal dari berbagai daera seperti Yogyakarta, Bandung, bahkan sampai Papua. Prinsip hyper-localized teknologi itu sudah diterapkan oleh Qlue sehingga bisa menjangkau seluruh provinsi di Indonesia, bahkan diterima oleh pasar di Jepang, Malaysia, dan Singapura,” ujar Rama.
Penetrasi teknologi yang cukup tinggi sendiri menjadi salah satu perhatian dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya di Indonesia. Transformasi digital yang berlangsung dalam skala luas harus memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal agar tidak masyarakat tidak kehilangan identitas kebudayaan. Perhatian itu kemudian memunculkan sebuah diskusi berjudul “Keberadaan Nilai Kearifan Lokal Dalam Pusaran Transformasi Digital” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) bersama Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) secara virtual.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tercatat sebanyak 202 juta orang di Indonesia sudah mengakses internet dengan nilai ekonomi digital sebesar Rp 632 triliun, dan angka itu berpotensi untuk terus tumbuh hingga Rp Rp 4.531 triliun pada 2030 mendatang. Hal itu diprediksi akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika Harry Budianto, pemerintah saat ini sedang mengembang digitalisasi pada 4 sektor dalam mendorong pemanfaatan potensi ekonomi digital, yakni melalui aspek infrastruktur digital, pemerintahan digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital. Pengembangan 4 sektor itu juga akan memperhatikan kearifan lokal masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
“Pengembangan masyarakat digital ini akan sangat berkaitan erat dengan kearifan lokal karena langsung bersentuhan dengan masyarakat itu sendiri. Sasaran pembangun masyarakat digital ini akan berupa literasi skill, etika, keamanan, dan berbudaya di dunia digital. Kami menargetkan, hingga 2024 program masyarakat digital ini akan menghasilkan 50 juta orang Indonesia yang memiliki tingkat literasi digital yang baik, yang pada akhirnya Indonesia yang merasakan manfaat dari potensi ekonomi digital tersebut,” ujar Harry.
Terkait potensi digital tersebut, Chief of Digital and Business Innovation PT Telkom Indonesia Tbk. Muhamad Fajrin Rasyid mengatakan, potensi ekonomi digital Indonesia yang sangat besar tersebut berkat prinsip lokalisasi teknologi dalam aspek memahami kebutuhan dan kondisi pasar lokal secara baik. Dengan memanfaatkan kearifan lokal, banyak startup di Indonesia bisa bersaing dengan pemain global dan bahkan menjadi pemimpin pasar dalam negeri.
Pemanfaatan kearifan lokal dan lokalisasi teknologi tersebut juga pada akhirnya membentuk model bisnis yang menyesuaikan dengan kesiapan pasar saat ini. Pada saat yang bersamaan, pelaku usaha juga secara perlahan bisa mendorong situasi pasar yang untuk untuk lebih masuk ke arah transformasi digital yang lebih masif sesuai dengan agility perusahaan tersebut.
“Indonesia ini terdiri dari berbagai macam budaya dan karakteristik serta permasalahannya. Tentu ini merupakan peluang untuk kita dapat memahami dan menghadirkan solusi yang paling relevan dengan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan kunci agar pelaku usaha di Indonesia, termasuk startup, bisa bersaing dengan para pemain global,” ujar Fajrin.(*)