Oleh : Feri Irawan
Pandemi Covid-19 hampir dua tahun ini dikhawatirkan memicu dampak lebih buruk yang mengakibatkan krisis pangan di Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga menunjukkan adanya lonjakan harga pangan global sejak Mei 2021 akibat pengaruh pandemi Covid-19.
Catatan Global Food Security Index 2019, Indonesia yang kaya potensi sumber daya alam justru berada di posisi ke-62 dari 113 negara. Posisi ini tentu jauh di bawah negara tetangga ASEAN bila dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan pertama, Malaysia ke-28, Thailand posisi 52, dan Vietnam 54.
Kondisi ini kemudian direspon Presiden Joko Widodo dengan upaya penguatan pangan, hingga muncul proyek Food Estate. Proyek ini bahkan jadi program prioritas yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Pemerintah juga tak segan menggelontorkan dana triliunan rupiah demi proyek tersebut berjalan.
Sejak awal Oktober 2020 pemerintah mulai mengolah lahan di bekas program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah untuk cetak sawah baru.
Seperti tak ingin kehilangan kesempatan, Pemerintah Jambi juga ikut-ikutan mengusulkan Food Estate ke Kementerian Pertanian. Lahan pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi diusulkan masuk proyek Food Estate.
Padahal Jambi telah memiliki 79.396 hektare sawah, tetapi selama ini tak dikelola dengan maksimal. Usulan Food Estate di Jambi sepertinya hanya akal-akalan pemerintah agar ikut dapat jatah anggaran dari Pemerintah Pusat.
Faktanya, lahan yang diusulkan pemerintah Jambi untuk proyek Food Estate adalah lahan pertanian milik warga. Sementara selama ini upaya pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi petani masih jauh dari harapan petani kecil.
Lihat saja, lahan 5.166 hektare di Tanjung Jabung Timur yang diusulkan untuk tanaman padi, jagung dan kedelai adalah lahan milik petani yang selama ini dikelola dengan modal seadanya. Lokasinya di Kecamatan Nipah Panjang, Berbak, Muara Sabak Timur, Dendang, Sadu.
Sementara di Tanjung Jabung Barat, Pemprov Jambi mengusulkan sawah seluas 6.566 hektare milik petani di Kecamatan Batang Asam, Pengabuan, Senyerang. Begitu juga lahan 6.046 hektare milik petani di Muaro Jambi. Lokasinya di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kumpeh, Maro Sebo, Taman Rajo, Sekernan, Jambi Luar Kota.
Bahkan, kawasan hutan di Kabupaten Merangin juga masuk target Pemprov Jambi untuk dijadikan kebun singkong. Hasil kajian lembaga di Jambi, luasnya diperkirakan mencapai 65.262,76 hektare. Totalnya 83.040,76 hektare lahan di Jambi diusulkan digarap untuk proyek Food Estate.
Pemerintah semestinya belajar dari kegagalan proyek yang dilakukan pemerintah era sebelumnya. Sebut saja program PLG Sejuta Hektare Era Presiden Soeharto, proyek Food Estate era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan proyek Upsus Pajale (Upaya Produksi Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai) pada 2015-2017 yang semua bisa dibilang tak ada yang berhasil.
Gambut dan Bencana
Proyek Food Estate yang melibatkan modal dari swasta berpotensi membuka lahan baru yang akan menghancurkan lahan gambut di Jambi. Selama ini gambut di Jambi sudah rusak akibat izin konsesi perkebunan dan HTI, dan akan semakin rusak karena harus dikeringkan untuk proyek Food Estate.
Diketahui tiga kabupaten yang diusulkan untuk lokasi Food Estate memiliki lahan gambut seluas 588 ribu hektare lebih. Pola pertanian yang dilakukan di lahan gambut selama ini tidak ramah lingkungan dan hasil produksinya juga tidak maksimal.