JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, JAKARTA - Pandemi Covid-19 juga menimbulkan masalah menumpuknya limbah medis yang masuk kategori sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Ini membutuhkan penanganan yang tepat.
Pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 1,3 triliun guna mengintensifkan pembuatan sarana pengolahan limbah medis (insinerator), yang jumlahnya meningkat selama pandemi Covid-19. Dana itu antara lain akan dimanfaatkan untuk membuat sarana-sarana insinerator (pengolahan limbah) dan sebagainya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, menyebut limbah medis Covid-19 hingga 27 Juli 2021 mencapai total 18.460 ton, yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit darurat, wisma tempat isolasi dan karantina mandiri, uji deteksi, maupun vaksinasi.
Limbah medis tersebut terdiri atas infus bekas, masker, vial vaksin, jarum suntik, face shield, perban, hazmat, APD, pakaian medis, sarung tangan, alat PCR antigen, hingga alkohol pembersih swab.
Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sinta Saptarina mengatakan, limbah medis memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu infeksius alias dapat menular.
“Karena memiliki sifat menularkan penyakit, maka harus ditangani secara khusus. Misalnya harus secepatnya ditangani dalam 2 x 24 jam di suhu normal. Bila ditaruh di cool box bisa lebih dari 2 x2 24 jam,” ujar Sinta dalam Dialog yang diselenggarakan KPCPEN, Kamis (19/8).
Kementerian KLH telah melakukan sejumlah respons, di antaranya menerbitkan Surat Edaran Menteri LHK Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Sampah dari Penanganan COVID-19 kepada Ketua BNPB, Gubernur dan Bupati/Walikota pada 12 Maret 2021.
“Kementerian LHK juga melakukan sejumlah rekomendasi terkait hal-hal yang harus dilakukan untuk penanganan limbah medis di fasyankes, tempat vaksinasi, uji lab untuk COVID-19 hingga isolasi mandiri yang merambah sampai ke hotel,” urai Sinta.
Sinta mengatakan, limbah medis Covid-19 tidak boleh dibuang langsung ke TPA bersama limbah lainnya.
“Karena sifatnya mudah menular, maka harus ditangani khusus. Dipisahkan sesuai jenis limbahnya, kemudian ditaruh kantong plastik, dilakukan desinfeksi dan diikat rapat sebelum dibawa ke tempat pemusnahan atau pengolahan limbah B3 yang memiliki izin,” ujarnya.
Untuk memusnahkan limbah medis B3, saat ini pemerintah menjalin kerja sama dengan pabrik semen. “Sejauh ini ada 12 pabrik semen yang membantu memusnahkan limbah medis di wilayah setempat. Diharapkan akhir tahun 2021 akan terbangun 10 fasilitas pengolahan,” beber Sinta.
Sekarang ini ada sekitar 20 perusahaan jasa pengolahan limbah medis dengan kapasitas 384 ton dalam 24 jam. Jika beroperasi selama 24 jam maka kapasitasnya bisa dua kali lipatnya.
“Namun kendalanya, kebanyakan perusahaan pengolahan ini berada di wilayah Jawa. Jadi belum merata,” ujar Sinta.
Untuk mengatasi kendala ini, Sinta menambahkan, saat ini pemerintah tengah membangun fasilitas pengolahan limbah medis di luar Jawa dengan kapasitas 100-300 kg per jam
Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Lia Partakusuma mengatakan, penghasil limbah medis bukan hanya di rumah sakit, namun di seluruh fasyankes. Terkait dengan penanganan limbah medis di RS, terlebih dulu akan diidentifikasi mana saja yang harus dibuang.