Oleh : Dr Novriadi Ferzi
Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera yang pernah menjadi urat nadi Provinsi Jambi itu kini dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Sungai ini tercemar merkuri akibat aktivitas tambang emas liar (PETI) di bagian hulu.
Banyak catatan yang menggambarkan bagaimana tentang keelokan dan kejayaan Sungai Batanghari di masa lampau. Sungai yang memiliki panjang 800 kilometer ini menjadi urat nadi dan kebanggan negeri Jambi, namun saat ini kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Arus Batanghari memang mengalir tenang, tapi melihat kondisi sungai Batanghari sekarang, pikiran menjadi tak tenang.
Suatu waktu, penulis pergi di bawah jembatan Aur Duri 1 Kota Jambi, airnya butek kecoklatan oleh sendimen lumpur dan pasir yang kasat mata. Menurut catatan Walhi, Penyebab kerusakan Batanghari berasal dari masifnya perizinan industri ekstraktif yang berada di DAS, saat ini terdapat 39 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam (IUPHHK – HA). Aktifitas industri ekstraktif merupakan penyumbang terbesar kerusakan hulu DAS Batanghari.
Sungai Batanghari adalah peradaban yang terlupakan, sarana ekonomi yang terpinggirkan. Terlupakan, karena semenjak jalan darat terbuka di era 80 an, Sungai Batanghari tak lagi dijadikan pilihan sebagai sarana transportasi, lalu Sungai Batanghari terpinggirkan ketika aktivitas sosial ekonomi masyarakat tak lagi bertumpu pada alur sungai. Hanya ada segelintir pencari ikan dan perahu ketek yang mengais rejeki disana. Jika pun mau ditambah daftar ini, kita bisa memasukan pengusaha galian C yang masih aktif memanfaatkan Batanghari.
Hingga peradaban sungai itu kini hanya cerita yang tersisa. Jika tidak ada usaha massif secara ekologi dalam mengatur interaksi kepentingan, sangat mungkin sungai Batanghari mungkin hilang dari kehidupan orang Jambi.
Sungai Batanghari kembali mengemuka ketika masalah angkutan batubara menjadi problem sosial yang besar di Jambi. Memang sejatinya alur sungai ini memiliki potensi dijadikan sarana angkutan batubara, namun masalahnya kembali pada pendangkalan yang terjadi disepajang alur sungai.
Aliran Sungai Batanghari terus mengalami pendangkalan dengan volume lumpur yang menyebar di dasar sungai mencapai 20 juta meter kubik. Bahkan pendangkalan mencapai 20 juta meter kubik tersebut terjadi jika erosi yang terjadi di DAS tersebut per hektarnya mencapai 40 ton. Jika lebih dari 40 ton maka pendangkalan yang terjadi semakin besar.
Banyak hal yang menyebabkan pendangkalan di sungai itu. Salah satu yang sangat mempengaruhi yakni perubahan kontur alam dimana banyak hutan-hutan di daerah itu yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman warga dan beralih menjadi perkebunan masyarakat. Hal tersebut memicu terjadinya erosi dan menyebabkan pendangkalan sungai yang panjangnya sekitar 800 km ini.
Selain itu, kemarau yang berkepanjangan turut mempengaruhi sungai itu dengan menyebabkan air Sungai Batanghari defisit.
Musim kemarau ini berpengaruh terhadap debit air, karena daerah resapan air kurang menyebabkan mata air banyak yang mati, dan cadangan air tanah juga berkurang.
Tidak heran jika memasuki musim kemarau terdapat pasir-pasir membentuk pulau di Sungai Batanghari. Itu merupakan hasil pengendapan erosi dari hulu hingga hilir sungai.
Jika pendangkalan terus terjadi dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap lingkungan, tidak hanya bagi manusia, namun bagi ekosistem yang hidup di sungai akan turut terancam. Selain itu, jika memasuki musim penghujan banjir akan mudah terjadi karena sungai tak mampu menampung debit air yang cukup besar.
Dalam satu dekade terakhir, Provinsi Jambi memiliki persoalan dengan air. Sebab Sungai Batanghari yang ada di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, posisinya bukan lagi sebagai sumber air bersih, rumah habitat ikan tawar, dan jalur transportasi bagi masyarakat, kini justru menjadi sumber penyakit dan persoalan.
Sungai Batanghari berada pada status prioritas I, yang artinya kondisi kritis. Berdasarkan analisis kualitas air sungai Batanghari tahun 2016 diketahui bahwa nilai Biological Oxygen Demand (BOD) 18,08 mg/L dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,2 mg/L hasil dari analisa ini telah melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu BOD 3 mg/L dan COD 25 mg/L, hasil tersebut menunjukkan sumber pencemar terindikasi dari limbah industri dan limbah domestik.