Realita hari ini : Sejumlah truk pengangkut Batubara merayap melewati ruas jalan nasional melintas di perkampungan bahkan perkotaan di Jambi. Berjuta-juta ton emas hitam keluar dari Jambi untuk diekspor ke berbagai negara. Dari tambangnya di Sarolangun dan Bungo, Batubara itu diangkut hingga ke kawasan Talang Duku di Muaro Jambi. Kisruhnya pun berawal dari sini. Ketika ribuan truk batubara ini seolah merampas hak masyarakat akan jalan. Akibatnya, tak terhitung lagi kasus kecelakaan yang terjadi, cacat atau bahkan meninggal dunia
Provinsi Jambi sebenarnya, telah memiliki Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang larangan operasi yang masih lemah ditegakkan. Aktivitas angkutan batubara yang beroperasi di luar jam ketentuan masih mengular pada siang hari.
Tuntutan masyarakat jelas, Paling tidak pemerintah mengatur ritme angkutannya jam operasi, perlu direvisi atau diberikan saja toleransi pada siang hari dengan jumlah persetiganya, supaya tidak terjadi penumpukan di malam hari. Para sopir sudah menyadari soal terjadi kepadatan lalin dan dampak lingkungan. Buktinya sampai sekarang masih ada yang bandel. Pendapatan negara boleh meningkat, tapi harus mempertimbangkan segala risiko yang akan terjadi di tengah masyarakat.
Masalah angkutan batubara, substansi persoalan sebenarnya adalah hak masyarakat sebagai penguna jalan yang terampas atau bahkan tereliminasi. Dalam hal ini pihak yang paling menderita adalah pengguna jalan baik motor, mobil dan angkutan umum. Masyarakat rugi waktu, mengalami depresi sosial hingga kehilangan nyawa adalah fakta yang tak terbantahkan.
Aksi moral yang dituntut mahasiswa akhir - akhir ini, sebenarnya menagih prioritas pemerintah (baca, Gubernur) kepada siapa berpihak. Sudah pasti akan ada perdebtan, tentang siapa yang paling dirugikan dalam hal ini, namun kembali pada keberpihakan tadi, Gubernur, tinggal memilih mau mengayomi kepentingan siapa, masyarakat atau sebagian masyarakat dalam hal ini pelaku bisnis batubara dan turunannya.
Pemerintah provinsi berwenang mengatur soal pengangkutan hasil tambang karena sesuai UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sesuai ketentuan Pasal 7 Junto Pasal 1 angka 6, dalam hal ini Gubernur bisa mengeluarkan Pergub terkait larangan angkutan batubara melintas di jalan umum.
Saat ini Pergub itu diterbitkan dengan hukum yang jelas dan juga dilatarbelakangi alasan yang jelas, untuk menghentikan kesemerawutan angkutan batu bara.
Terdapat tiga aspek yang menjadi alasan utama Pergub tersebut mendesak untuk dikeluarkan.
Pertama, keberadaan truk lalu lintas memicu kemacetan setiap hari. Kedua, pelanggaran soal jumlah truk itu sendiri karena jumlah yang diizinkan melintas jauh melebihi batas yang diperbolehkan.
Kemudian ketiga adalah keamanan pengendara akibat banyaknya korban jiwa yang sudah berjatuhan karena maraknya truk batubara di jalan umum.
Sehingga wajar gubernur hadir dengan Pergub itu, dasar hukumnya jelas itu UU minerba, Gubernur juga punya wewenang mengatur soal angkutan batubara ini. Dan ini sudah pernah dilakukan Gubernur Sumsel yang mencabut Pergub 23 Tahun 2012 dengan mengeluarkan Pergub 74/2018, dan Mahkamah Agung sendiri akhirnya mengeluarkan putusannya dan membenarkan kebijakan yang telah diambil Gubernur Sumsel.
Kini tinggal kita menagih keberpihakan Gubernur Jambi, beranikah mengeluarkan pergub untuk menghentikan angkutan batu bara di Jambi. Sembari menunggu Jalan khusus dapat disewakan ke perusahaan-perusahaan tambang, kelapa sawit dan hutan tanaman industri dengan memungut retribusi. Dana hasil sewa pemakaian jalan lantas dapat dialokasikan bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.