(Buat Jurnalis Sakti Alam Watir)
"Berapa banyak suara hati kau tulis di lembaran putih kehidupan?" tanya kalbu pada usia yang mulai mengering.
"Banyak! Apa saja peristiwa yang tersaji di kehidupan, semua kutulis di kejenuhan hidup," bangga usia pada kalbu di sisa ujian nafsunya.
"Dapatkah kau temukan suara hati yang tersakiti di tiap kalimat yang kau tulis," tantang kalbu. Usia bungkam.
"Karenanya, usah bangga ketika suara hati yang kau hadirkan di kehidupan nan fana, jika kau tak menemui lukanya," cecar kalbu.
Kebanggaan usia mencair. Dan saat akalnya mencoba tuk memahami luka, seketika cahaya kata menariknya memasuki lembaran pemahaman. "Di sini kutemukan suara hati yang menawarkan ketegangan kehidupan dari muslimat kata," pilu usia.
Kalbu yang menyukai suara hati, tersenyum. "Tunggu.
Usah bangga atas temuan fanamu. Sebab, ketika kau menemukan suara kata, sejujurnya kau belum mampu memisahkan makna suara hati dan kata hati," tegur kalbu.
Usia yang sering lupa mengeja kata, kembali gelisah. Padahai, ia baru menemukan cahaya kata di lembaran hidup. "Belum sempurna kutemukan kejujuran suara hati, kalimat bergegas meninggalkan jasa kata hati," iba usia yang kembali kehilangan akalnya.
Kalbu menawarkan kebaikan pada usia tuk menulis suara hati di sisa perjalanan hidup. Api usia membara.
"Keabadian sisa nafsu tak sama dengan kekekalan kata di lembaran hidup. Sebab, keabadian nafsu acap ditemukan di kebeningan kata" Imbuh kalbu mengingatkan usia
yang selalu membekukan hati saat menulis suara hati dikefanaan lembaran pemahaman kehidupan.
Seketika, jiwa menjadi abdi kefanaan usia. Kekekalan kata berubah jadi hening. "Karenanya, jika mencintai
keabadian, cintai kekekalan usia, maka keheningan kata di lembah kata, tak tercemari dusta," pesan kalbu pada usia yang kerap cemas meninggalkan kefanaan dunia.
H.EM Yogiswara