JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID – Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Kalimat ini telah diajarkan pada kita sejak kecil. Ya, ibu adalah orang yang sangat wajib kita patuhi dan hormati.
Ibu adalah orang yang telah berjuang untuk kita, bahkan sebelum melahirkan. Selama 9 bulan, ibu mengandung kita tanpa meminta pamrih. Semua dilakukan dengan iklas.
Jadi, sangat keterlaluan jika ada anak yang durhaka pada ibunya. Nah, ada semua dongeng yang melegenda dari Provinsi Sumatera Barat, tentang seorang anak yang lupa dengan budi ibunya.
Dongeng Malin Kundang ini sangat terkenal sejak dulu, hingga kini. Berikut kisah Dongeng Malin Kundang.
BACA JUGA:Kalahkan Vietnam 3-2, Timnas U-22 Indonesia Lolos ke Final SEA Games 2023
Pada zaman dahulu, di Provinsi Sumatera Barat, ada sebuah kampung nelayan. Di sana, ada seorang janda yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.
Layaknya seorang ibu, si janda tentu saja sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Sesuai keinginannya, Malin Kundang pun kemudian tumbuh menjadi seorang pria yang rajin dan penurut.
Lama kelamaan, si janda mulai tua. Fisiknya tak dulu lagi, saat dia masih muda. Sang janda pun tak bisa terlalu banyak bekerja, hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Terus berusaha agar Malin Kundang bisa tumbuh dan berkembang sebagai pria yang baik. Akhirnya Malin Kundang tumbuh menjadi pria yang baik dan semangat. Rajin pula.
BACA JUGA:Resmi jadi Warga NU, Ini Profil dan Fakta-fakta Hanan Attaki
BACA JUGA:Sinopsis Film Fast X,Tayang 17 Mei di Bioskop Cinepolis Lippo Plaza Jambi, Pesan Tiketnya Sekarang
Malin Kundang berpikir, dia tak mau terus menerus hidup seperti ini. Dia ingin mengubah hidupnya dan ibunya. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk meminta izin pada ibunya, untuk merantau ke kota.
Si janda tentu saja sangat berat melepas Malin Kundang. Dia sangat menyayangi Malin Kundang. Anak satu-satunya. Tapi keinginan Malin Kundang sudah bulat. Dia harus merantau untuk merubah hidup mereka berdua.
“Tenanglah ibu, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” ujar Malin sambil menggenggam tangan ibunya. Akhirnya, merapatlah satu kapal besar yang merapat di desa mereka.