Studi menunjukkan bahwa lobus frontal memainkan peran penting dalam pengaturan kepribadian, emosi, dan kemampuan berpikir.
Ketika bagian ini dipotong atau dihancurkan, pasien mengalami kerusakan kognitif dan emosional yang serius.
Menurut penelitian oleh El-Hai (2005), banyak pasien yang menjalani lobotomi menjadi seperti "zombie", kehilangan inisiatif dan minat pada aktivitas sehari-hari.
Pada akhir 1950-an, lobotomi mulai menurun popularitasnya setelah perkembangan obat-obatan psikotropik seperti chlorpromazine (obat antipsikotik pertama).
Obat ini memberikan hasil yang lebih baik dan jauh lebih aman dibandingkan prosedur lobotomi yang invasif.
Seiring dengan meningkatnya kritik dari komunitas medis dan masyarakat, serta bukti-bukti mengenai dampak negatifnya, prosedur ini secara bertahap dihentikan.
BACA JUGA:Polri dan Grab Perkuat Kolaborasi untuk Pelayanan Optimal bagi Masyarakat
Penelitian juga mengungkap bahwa lobotomi sering dilakukan secara sembarangan dan tanpa persetujuan penuh dari pasien atau keluarga mereka, menambah lapisan kontroversi terhadap praktik ini.
Feldman (2019) mencatat bahwa Freeman, salah satu pelopor lobotomi, melakukan ribuan prosedur di Amerika Serikat, terkadang tanpa mematuhi prosedur yang etis.
Lobotomi, meskipun pernah dianggap sebagai pengobatan revolusioner untuk penyakit mental, kini dikenang sebagai salah satu prosedur medis yang paling tragis dalam sejarah psikiatri.
Meskipun ada beberapa hasil positif dalam mengurangi gejala gangguan mental, dampak negatifnya jauh lebih besar, menyebabkan banyak pasien kehilangan fungsi kognitif dan emosional yang signifikan.
Dalam dunia medis modern, lobotomi dianggap tidak etis dan tidak lagi dilakukan sebagai prosedur standar untuk menangani gangguan mental.