JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Lobotomi, yang dikenal sebagai salah satu prosedur medis paling kontroversial dalam sejarah psikiatri, adalah operasi pada otak yang dilakukan untuk mengobati gangguan mental parah.
Prosedur ini pertama kali dilakukan pada awal abad ke-20 dan menjadi sangat populer pada pertengahan abad tersebut.
Meskipun bertujuan mengatasi kondisi seperti skizofrenia, depresi berat, dan gangguan kecemasan, banyak penelitian modern menunjukkan bahwa lobotomi menyebabkan efek samping yang serius dan sering kali merugikan pasien lebih banyak daripada memberikan manfaat.
Lobotomi pertama kali dikembangkan oleh ahli saraf Portugal, Dr. António Egas Moniz, pada tahun 1935. Ia percaya bahwa beberapa masalah mental disebabkan oleh sirkuit otak yang rusak, dan dengan memotong atau merusak bagian dari lobus frontal, kondisi mental dapat diperbaiki.
Metode awalnya dikenal sebagai leukotomi, di mana koneksi saraf di lobus frontal otak diputuskan menggunakan alat yang disebut leucotome. Atas penemuannya, Moniz menerima Hadiah Nobel di bidang Kedokteran pada tahun 1949.
BACA JUGA:Dampak Psikologis dari Penolakan Cinta: Berikut Penelitiannya
BACA JUGA:Kepribadian Orang yang Sering Memilih Mode Silent pada HP Menurut Psikologi
Lobotomi kemudian dipopulerkan di Amerika Serikat oleh Dr. Walter Freeman dan Dr. James Watts pada akhir 1930-an.
Freeman mengembangkan teknik yang dikenal sebagai lobotomi transorbital, prosedur yang jauh lebih cepat dan mudah daripada metode asli Moniz.
Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan alat seperti paku es melalui rongga mata untuk menghancurkan jaringan otak di lobus frontal.
Tujuan lobotomi adalah untuk mengurangi gejala gangguan mental yang sulit diobati pada masa itu. Beberapa pasien yang menjalani prosedur ini memang menunjukkan penurunan gejala gangguan mental, seperti kecemasan atau perilaku agresif.
Namun, penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa efek samping dari lobotomi jauh lebih merusak.
Pasien sering kehilangan kemampuan berpikir logis, menjadi apatis, mengalami masalah dengan pengambilan keputusan, dan kehilangan kemampuan emosional dasar.
BACA JUGA:AFC Tanggapi Permintaan Bahrain untuk Tidak Bermain di Indonesia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026
BACA JUGA:Cara Aman Membersihkan Telinga Tanpa Cotton Bud