JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Dalam dunia bahasa, ada sejumlah kata yang tidak dapat diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa lain. Kata-kata ini dikenal dengan sebutan untranslatable words atau kata-kata yang tak dapat diterjemahkan.
Meskipun secara teknis kita bisa mencoba untuk mengalihbahasakan kata tersebut, namun makna dan nuansa budaya yang terkandung di dalamnya sering kali hilang dalam proses terjemahan.
Untranslatable words umumnya muncul karena perbedaan budaya dan pengalaman dalam masyarakat yang berbicara suatu bahasa.
Sebagai contoh, dalam bahasa Jepang, terdapat kata tsundoku, yang menggambarkan kebiasaan membeli buku dan menumpuknya tanpa membacanya.
Tidak ada padanan kata yang sepenuhnya menggambarkan kebiasaan ini dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
BACA JUGA:Ajak Petani Bali Jaga Kualitas, Wamentan Sudaryono: Kopi Lokal Harus Kuasai Pasar Global
Begitu juga dengan kata saudade dalam bahasa Portugis, yang menggambarkan perasaan rindu yang mendalam dan penuh dengan kenangan, sesuatu yang lebih kompleks daripada sekadar "missing" atau "longing".
Kata-kata seperti ini menunjukkan bagaimana bahasa mencerminkan nilai-nilai dan pengalaman unik dari komunitas yang menggunakannya.
Untranslatable words sering kali berakar pada kebiasaan, perasaan, atau fenomena sosial yang sangat terkait dengan budaya tertentu.
Sebagai contoh, dalam bahasa Jerman ada kata verschlimmbesserung, yang berarti mencoba memperbaiki sesuatu namun malah membuatnya lebih buruk.
Kata ini tidak memiliki padanan yang pas dalam banyak bahasa lainnya, karena konsep semacam ini sangat kontekstual dan khas dalam budaya Jerman.
BACA JUGA:Ketua LAM Kota Jambi Tutup Usia, Pj Wali Kota Jambi Sampaikan Duka Mendalam
Proses terjemahan yang ideal tidak hanya sebatas mengganti kata satu dengan kata lainnya, tetapi juga menyampaikan makna, nuansa, dan latar belakang budaya yang terkandung di dalamnya.