JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Nyumbo dan suaminya Ngamben bersiap menyambut kelahiran anak kedua mereka dua bulan lalu. Harusnya sebulan menjelang melahirkan mereka sudah harus pindah ke tanohperanoon, tanah yang ditunjuk oleh dukun--pihak yang dipercaya untuk membantu proses kelahiran, yang dianggap paling tepat untuk melahirkan bagi perempuan rimba. Sesuai dengan tradisi yang diwariskan nenek moyang. Tradisi ini sudah berjalan sejak lama, ketika rumah mereka masih berupa hutan belantara.
Tanah penaronoon bisanya dekat dengan air sungai yang jernih, dikelilingi pohon yang mampu melindungi orang di dalamnya. Juga ada pohon-pohon yang dibutuhkan sebagai penanda bayi yang akan dilahirkan, yaitu tenggeris dan sentubung. Tenggeris adalah pohon yang tinggi menjulang, besar dan keras. Pemilihan kayu ini mempunyai harapan agar anaknya bisa hidup tegak, kuat dan menjulang.
Setiap individu punya kayu tenggeris sendiri, tidak boleh bersama. Karena kayu ini akan menjadi perlambang bayi dan kehidupan masa depannya. Hubungan bayi dan pohon ini dihubungkan ketika kulit kayu ini dikikis dan kemudian dibalurkan ke kepala bayi. Pantang bagi Orang Rimba untuk menumbangkan pohon tenggeris.
Karena itu artinya sama dengan membunuh manusia yang menempel dengan pohon tersebut. Makanya kesalahan atas penumbangan pohon tenggeris sama hukumnya dengan membayar denda menghilangkan nyawa orang lain senilai 600 lembar kain.
BACA JUGA: Polisi Akan Panggil Pemilik 2 Gudang Minyak di Jambi Timur
BACA JUGA: Kenali Bahan Makanan Berbahaya, BPOM: Jadilah Konsumen yang Cerdas
Pun demikian dengan pohon sentubung. Pohon sentubung biasanya pohon yang lebih kecil dan dibawahnya di tanam ari-ari bayi. Pohon inipun fungsinya juga perlambang nyawa bayi, dan diperlakukan sama dengan tenggeris, pantang untuk ditebang.
Makanya di dalam rimba setiap pohon tenggeris dan sentubung ini di tandai sehingga tidak ada alasan untuk tidak tau kalau ini pohon terhubung dengan manusia.
Namun apa daya, kini bagi sebagian Orang Rimba tradisi ini menjadi sulit untuk di jalankan. Sebagaimana yang dirasakan Nyumbo dan suami, dan anggota Kelompok TumenggungMariau.
Sudah lebih dari 25 tahun ini kehilangan hutan mereka berganti dengan perkebunan kelapa sawit, di desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Terpaksalah tanah peranaoon beralih di bawah batang-batang sawit. Belukar yang tumbuh di sana di jadikan sebagai pohon sentubung. Sedangkan kulit tenggeris yang dijadikan sebagai perlambang bayi, tidak ada lagi. Tradisi tergerus seiring tergerusnya hutan.
Baca Juga: 80 Barang Terlarang Ditemukan di Blok Hunian WB Lapas Kelas IIA Jambi
Baca Juga: Petugas Menemukan Tiga Remaja yang Tengah Mengkonsumsi Miras dan Mabuk Lem
“Pohonnya sodahilang, mumpamanolahkamiandokngabikkulitnyo, tepasolahhopi ado tenggeris budak iyoy, (Pohonnya sudah hilang, bagaimanalah kami mau mengambil kulitnya, terpaksalah tidak ada lagi tenggeris sebagai penanda bayi ini),” kata TumenggungMariau, dukun yang membacakan dedekorin (doa) untuk menolong kelahiran. Sedangkan untuk membantu persalingandibantu Meliyau yang juga merupakan ibu Nyumbo.
Bagi Orang Rimba, kehilangan dan ketiadaan pohon tenggeris dan sentubung adalah kehidupan tanpa harapan. Hutan yang melekat sebagai jati diri Orang Rimba, kehilangan hutan bisa juga bermakna kehilangan kehidupan.
Kehidupan Orang Rimba selaras dengan alam, mereka merawat alam dengan adat dan budaya. Setiap nyawa Orang Rimba selalu diasosiasikan dengan pohon, yang didapatkannya semenjak lahir. Kondisi ini ada ketika hutan rimba masih berjaya, menjadi rumah yang ramah untuk warga di dalamnya.