JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, KOTA JAMBI, JAMBI – Kumaidi, mantan Kepala Desa Petalingjaya, Kabuputen Muarojambi, dituntut tinggi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Muarojambi. Dalam tuntutannya, JPU mengungkapkan pertimbangan yang memberatkan terdakwa.
Selain terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang tengah gencar-gencarnya memberatas tindak pidana kourpsi, terdakwa belum mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 578 juta. Selain itu, terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan.
Perbuatan terdakwa terbuksi secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam surat dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Menuntut agar menajelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 6 tahun kepada terdakwa Kumaidi,” kata Cepy Indra Gunawan saat membacakan tuntutannya dalam sidang yang dipimpin ketua mejelis hakim, Morailam Purba.
Selain hukuman kurungan badan, terdakwa dibebankan pidana denda sebesar Rp 200 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Penuntut umum juga membebankan pidana tambahan membayar uang pengganti kerugian negara kepada terdakwa sebesar Rp 578 juta.
Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun.
Sementara pertimbangan meringankan, terdakwa memiliki anak dan istri yang masih membutuhkan nafkah.
Ditemui terpisah, Fifian Elsa, Penasehat Hukum terdakwa Kumaidi, mengaku, tuntutan terhadap kliennya sangat berat. Menurut dia, dalam proses penjualan aset, diakui kliennya tidak meminta izin terlebih dulu.
“Soal perlu izin bupati jika menjual aset memang sudah diakui dalam persidangan, tidak ada. Namun, dari hasil penjualan itu, dibeli lagi aset tanah dan kebun. Selain itu, uang itu pun sudah dinikmati oleh desa. Aset itu belum sempat dibaliknamakan, keburu kasus naik, tapi hasil kebun sudah masuk desa,” ungkapnya ketika ditemui di Pengadilan Tipikor Jambi. (mg06/ira/zen)