Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Hari ini kita masuk dalam sebuah demokrasi yang sangat liberalistis bahkan masuk dalam sebuah demokrasi yang sangat kapitalistik. Pesanan kekuasaan membuat demokrasi kita hilang arah.
Sungguh miris melihat manuver sebagian elit politik negeri ini, dengan alasan ekonomi, negara tak punya uang, mereka meminta pemilu 2024 akan ditunda sampai 2026 atau mungkin lebih lama, ditunda entah sampai kapan. Artinya jabatan Presiden dan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten Kota juga akan di perpanjang hingga pemilu dilaksanakan.
Melihat alasan ini tentu saja kita melihat alasan dangkal yang dikemukakan, karena seolah membantah klaim pemerintah sendiri tentang ekonomi yang meroket. Lalu, ada yang lebih lucu alasan menunda pemilu karena kinerja presiden yang begitu kinclong dalam membangun bangsa, hingga perlu diperpanjang sekalipun menunda pemilu. Framing akan ini akan mudah kita jumpai dimainkan oleh akun buzzer atau pendukung di berbagai platform media sosial seperti tik tok, FB dan lainnya. Mereka seolah lupa atau pura - pura bodoh, bahwa presiden yang hebat itu jika mampu melaksanakan pemilu sebagai instrumen demokrasi di negara yang ia pimpin.
Meski,Jokowinya sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak punya niat untuk menjabat 3 periode karena menyalahi konstitusi UUD 45. Nah, terakhir, ada alasan yang lebih lucu lagi, yakni serbuan Rusia terhadap Ukraina juga dijadikan alasan, walau susah mencari kaitannya secara langsung dengan alasan penundaan Pemilu. Ampuuun.
Memang jika kita amati para ketua umum partai yang meracau untuk menunda pemilu adalah Ketua Umum yang sedikit Frustasi akan kekuatan politik mereka sendiri baik di internal partai maupun di pemerintahan. Bisa kita lihat, ada yang frustasi tak kunjung jadi menteri meski sudah jauh hari menyatakan dukungan pada pemerintah, lalu, ada juga ketua partai yang tak pernah dilirik lagi untuk masuk kabinet karena dianggap bahaya dan bermasalah, kemudian ada juga ketua umum partai yang frustasi karena elektabilitasnya tak naik - naik meski telah memasang ribuan baleho dengan narasi calon presiden. Mungkin, atas dasar rasa frustasi inilah mereka mengambil jalan cari muka untuk membeli rasa sayang penguasa, syukur - syukur mendapat perhatian lebih.
Jika merunut sejarah, Demokrasi merupakan bagian paling penting dari politik kontemporer di bagian akhir abad ke-20 dan ke-21. Schumpeter (1942) memahami demokrasi sebagai suatu rezim politik di mana para penguasa dipilih melalui pemilihan yang bebas dan diperebutkan melalui pemungutan suara.
Pembelaan Schumpeter atas demokrasi bertumbuh dalam analisisnya tentang ketegangan masa Perang Dingin antara kapitalisme dan sosialisme di mana ia meyakini bahwa perubahan kekuasaan secara teratur akan menghasilkan kepemimpinan politik yang kompeten dan kreatif yang dapat menjembatani dua “isme” tersebut. Selama prosesnya berjalan secara kompetitif, pemimpin yang paling kompeten akan muncul dari demokrasi dan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pertanyaan, tanpa pemilu 2024 akankah lahir pemimpin yang berkompeten itu ?
Kini tantangan kita termasuk para elit adalah memanjangkan umur demokrasi di Indonesia, melaksanakan pemilu sesuai jadwal yang ditetapkan, yakni tahun 2024.
Nilainya adalah Demokrasi Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai Pancasila sudah sebaiknya dirawat dan dilindungi. Karena sistem demokrasi di Indonesia bernilai penting karena memberikan kesempatan untuk memilih, dipilih, dan berkompetisi di dalam ranah politik, bukan untuk segelintir elit mempertahankan syahwat kekuasaanya.*****Pengamat***