Tahun Baru 2022 Ditengah Kenaikan Harga Energi BBM, LPG dan Listrik
Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
" Harga sebenarnya dari sesuatu jerih payah dan kesulitan untuk memperolehnya " (Adam Smith)
Jelang tahun baru 2022 pemerintah melalui PT. Pertamina (Persero) secara resmi menaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji non subsidi. Sekarang harga jual elpiji 12 kg dan 5 kg ini berkisar antara Rp 1.600 - Rp 2.600 per kg. Tentu saja kenaikan ini menjadi kado tak menyenangkan di tahun baru 2022.
Pemerintah (baca, Pertamina) berdalih kenaikan ini untuk merespon tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun 2021.
Di mana menurut Pertamina harga kontrak penyediaan elpiji dengan perusahaan Arab Saudi terus meningkat, di November 2021 mencapai 847 USD/metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.
Harga liquefied petroleum gas (LPG) yang naik membuat pemerintah ditempatkan dalam posisi yang penuh dilema, pada satu sisi membuat pemerintah menanggung selisih harga penjualan semakin besar, dan ini beban. Di lain sisi lain pilihan untuk meningkatkan harga jual LPG tentu akan berdampak luas.
Lalu dengan alasan subsidi tak jebol, pemerintah memutuskan menaikan harga elpiji non subsidi untuk ditanggung rakyat. Anehnya, kelompok elpiji non subsidi ini hanya sekitar 7,8 persen dari konsumen, jika untuk alasan subsidi tidak jebol, kenapa kenaikan tidak dilakukan untuk elpiji subsidi 3 kilogram secara ringan pada kisaran harga 1000 - 2000 rupiah, meski kecil penghematan subsidi akan terasa karena konsumsi nasional mencapai 92,5 persen.
Gas elpiji merupakan komoditas strategis, memiliki keterkaitan dengan hampir semua sendi ekonomi masyarakat. Akibatnya akan berdampak pada produk olahan pangan (kuliner) dan sektor industri. Kenaikan harga ini membuat masyarakat dengan segala cara beralih ke gas Elpiji 3 kg atau gas melon. Pergeseran tersebut dikarenakan kenaikan harga elpiji menggerus daya beli masyarakat. Jika tidak di awasi dengan baik, akan terjadi menumbuh suburkan praktek pengoplosan elpiji. Apalagi masyarakat dalam kondisi masih terpukul pandemi sehingga cenderung mencari harga yang lebih murah, peluang yang dari dulu dimanfaatkan oleh para pengoplos.
Di aspek lain, perbedaan harga elpiji 3 kg bersubsidi dan elpiji 12 kg non subsidi pasca kenaikan, akan menjadi penyebab utama pengoplosan. Memanfaatkan celah distribusi dan pengawasan yang dilakukan Pertamina, para pengoplos selalu mencari celah untuk melakukan pengoplosan. Disparitas harga itulah yang memicu masyarakat untuk mengoplos, karena keuntungan yang didapat memang besar.
Perlu ada langkah antisipasi dari Pertamina maupun Kementerian ESDM dalam merespons kebijakan yang dikeluarkan. Di samping itu tentu saja perlu kontrol agar shifting dapat diminimalisir karena mengakibatkan ketaktepatan sasaran penggunaan gas elpiji bersubsidi.
Semestinya ketika Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg seharusnya terlebih dulu memastikan pendapatan dan daya beli masyarakat meningkat. Karena kelompok bawah nilai tukar mereka masih rendah. Sebagai contoh nilai tukar petani tidak naik naik. Kalau mau melakukan kenaikan harga energi, daya beli dan pangan harus dijaga, agar tidak ada inflasi.
Agenda kenaikan energi yang beruntun
Ironisnya, bukan hanya elpiji yang mengalami kenaikan harga, tapi juga energi lain di tahun depan. Sudah ada beberapa agenda tahun depan terkait peningkatan harga energi, seperti peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan wacana penghapusan BBM di bawah RON 92 yaitu Premium dan Pertalite.
Selanjutnya, rencana kenaikan listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun depan. Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun depan diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: