Tentang Mereka yang Terabaikan, Pergulatan Para Pemenang.

Tentang Mereka yang Terabaikan, Pergulatan Para Pemenang.

Dari kepentingan ini realitas minor politik praktis kita. Lumrah, siapa yang terlibat politik praktis meminta “hak”. Semacam meminta komitmen dari perjanjian yang tak pernah dibuat, tetapi mesti dimengeti. Tak ada makan siang gratis. Saya sudah memberi, saya wajib menerima balasan lebih. Itu biasa dalam politik riil. Tapi biasa juga untuk di ingkari dengan realitas situasi yang berubah.

Sosialis memang, namun itulah politik dalam hal yang paling praktis. Mengutip Harold Lasswell, politik adalah soal “who gets what, when and how”. Mereka yang ikut berjuang dalam politik, pasti menyelipkan kepentingan minornya di bawah kepentingan mayor (bonum commune). Tanpa itu, politik tidak berjalan.

Bagi mereka yang mendapatkan “bagian”, semuanya tidak menjadi soal. Semua akan baik-baik saja. The winner takes all, sang pemenang menikmati semuanya. Mengacu pada skala nasional. All the president men mendapat jatahnya masing-masing. Ada yang dapat jatah Menteri, proyek BUMN, promosi jabatan, tim ahli, penasehat, dubes dan sebagainya. Fenomena ini tak sepenuhnya terjadi dengan apa yang dibuat oleh pemimpin politik, katakanlah Gubernur, Bupati dan Wali kota.

Lantas, apa yang membuat kawan politik merasa terlepas dari rantai kekuasaan? Soalnya, lagi-lagi, adalah komunikasi. Justru pasca kemenangan politik, mereka tak lagi sempat merapatkan barisan. Apa pun keperluan, mesti ada komunikasi. Cukup sapa, lalu sebutkan apa permintaan. Toh, tidak semua apa yang diinginkan diketahui atau dipahami oleh sang pemimpin. Tak perlu malu, apalagi canggung. Perkawanan politik itu sudah jadi bekal, dan kawan pasti tak datang sebagai penyamun.

Dalam politik, sebenarnya pemimpin selalu punya indera etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana sengkuni). Justru yang bisanya ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”, biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik. Mengutip filsuf Criss Jami, “friends ask you questions; enemies question you”. Akar soalnya cuma satu, miskomunikasi.

Yang tabu dalam politik itu adalah mereka yang berparas “sengkuni”. Posisinya tidak jelas dalam tim sukses Paket A atau B atau C atau D, dan sebagainya. Plintat-plintut. Warna politiknya tidak sesuai dengan pilihan tim politiknya (duri dalam daging tim sukses). Lalu pukul dada ketika ada kandidat lain yang berhasil memenangkan kontestasi politik.

Tim sukses tidak akan pernah melepaskan identitas dirinya sebagai wajah dari pemimpin, oleh karena sudah menjadi keharusan apabila kepentingan masyarakat terpenuhi, maka kepentingan individu akan terpenuhi dan inilah kebahagian hidup manusia sebagai mahluk sosial. Karena persaingan apapun yang terjadi dalam tim sukses, janganlah persaingan yang dibangun atas suatu kebencian. *** Penulis adalah Dosen dan Pengamat Sosial***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: