Perpres Publisher Rights Blunder, Wina Armada: Karpet Merah Menuju Belenggu Pers Indonesia

Perpres Publisher Rights Blunder, Wina Armada: Karpet Merah Menuju Belenggu Pers Indonesia

Masa Depan Media Pasca Terbitnya Perpres Publisher Rights-ist/jambi-independent.co.id-

Bagaimana menentukan perlakuan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital?

Bukankah selama ini semua sudah bebas memakai layanan platform digital tanpa diskriminatif?

Apakah layak perusahaan platform digital yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan jurnalisme harus melaksanakan pelatihan dan program untuk jurnalistik berkualitas?

Bukankah ini kewajiban perusahaan pers, organisasi-organisasi perusahaan pers dan Dewan Pers?

Bukankah algoritma harus diberlakukan secara sama dan terbuka untuk siapa saja?

Dikatakan Wina, kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan Pers harus dituangkan dalam perjanjian. Ini berarti harus ada kebebasan dan kesetaraan berkontrak dalam perjanjian. Tidak boleh ada yang memaksa. Boleh ada bentuk lain yang disepakati para pihak sesuai kebebasan berkontrak.

Kerjasama dalam perjanjian mengatur soal:

a. lisensi berbayar; b. bagi hasil, merupakan pembagian pendapatan atas pemanfaatan berita oleh perusahaan platform digital yang diproduksi perusahaan pers berdasarkan perhitungan nilai keekonomian; c. berbagi data agregat pengguna berita, dan atau/ d. bentuk lainnya yang disepakati.

Nilai keekonomian seperti apa dan untuk menguntungkan siapa? Tentu keekonomian dari para pihak yang membuat perjanjian. Ini menyangkut kebebasan melakukan perjanjian. Harus ada kesetaraan antara para pihak. Juga berlaku asas reprositas. Asas timbal balik.

”Kalo gue harus membayar waktu mengambil punya loe, maka loe juga harus membayar yang loe ambil dari punya gue. Harus ada hitung-hitungan lebih banyak manfaat atau mudaratnya. Kalau para pihak tidak setuju, tidak boleh ada pemaksaan. Perpres menjadi dapat tidak berguna sama sekali," ujar Wina.

Terkait penyelesaian sengketa, ungkap Wina, Pasal 8 menyebutkan, jika terjadinya sengketa antara perusahaan platform digital dengan perusahaan pers, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat mengajukan ke pengadilan umum, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa dan dilakukan secara independen

 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tak disebut ada lembaga lain yang boleh mengatur atau menyelesaikan sengketa kasus perusahaan platform digital dan perusahaan pers.

Komite

Sementara soal komite, kata Wina, Pasal 9 menyebutkan, Komite yang melaksanakan tugasnya bersifat independen dibentuk dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

"Tidak ada alasan mengapa Dewan Pers harus membentuk Komite. Tidak jelas logikanya. Pada tahap ini, nyata pemerintah sudah ikut campur dan menekan Dewan Pers untuk membentuk Komite. Padahal menurut UU Pers tidak ada tugas dan kewajiban Dewan Pers membentuk Komite. Dengan pasal ini Dewan pers sudah tidak independen lagi. Dewan Pers hanya membentuk Komite, tetapi setelah itu tidak punya lagi kontrol dan pengendalian kepada komite. Komite melaporkan ke menteri, bukan ke Dewan Pers!!," tegas Wina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: