Restorative Justice Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebagai Solusi Over Capacity

Restorative Justice Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebagai Solusi Over Capacity

Sementara itu, pada poin 6 menyebutkan “Dalam hal tersangka tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada angka 5, penuntut umum melakukan penuntutan dan dapat melakukan upaya paksa terhadap tersangka”. Menurut penulis, kedua pengaturan tersebut menimbulkan pertanyaan soal maksud “dengan tidak menjalani rehabilitasi proses hukum tanpa alasan yang sah”. Kemudian, “alasan yang sah” dapat mengesampingkan proses rehabilitasi. Dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 masih terdapat persoalan yang berujung praktiknya malah terjadi “pilih-pilih perkara” yang rehabilitasinya berjalan secara sah atau tidak sah karena tidak adanya indikator yang pasti. Termasuk tidak adanya mekanisme uji yang jelas, malah membuka peluang penyalahgunaan yang dapat berdampak ketidakadilan terhadap pengguna atau pecandu narkotika.

Selain pedoman tersebut, menurut penulis perlu adanya perubahan terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Narkotika bahwa “Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal ini membuka peluang bagi pengguna narkotika untuk direhabilitasi. Akan tetapi cara berpikir aparat melakukan pemidanaan sangat kuat, sehingga yang digunakan Pasal 112 yang memuat ancaman pidana penjara. Akibat yang terjadi, penghuni Lapas dan Rutan di dominasi dengan pengguna narkotika.

Di luar dari konteks di atas, perlu juga untuk memperhatikan Narkotika jenis baru dalam perubahan terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) pernah melansir jenis narkotika yang ada di dunia berada di angka 800. Sedangkan yang sudah masuk ke Indonesia sudah sebanyak 71 jenis. Sementara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 hanya 16 jenis. Penulis juga mengusulkan pengaturan berbagai jenis narkotika ini mesti bersifat fleksibel. Karena tidak mungkin setiap ada jenis narkotika baru, kita harus mengubah Undang-Undang Narkotika tersebut.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: