Namun potensi yang besar itu, juga dihadapkan pada tantangan yang besar, berupa pembiayaan berkelanjutan untuk menangani perubahan iklim. Hal ini dikarenakan transisi dari ekonomi konvensional kepada ekonomi berkelanjutan yang berfokus kepada lingkungan membutuhkan biaya sangat besar.
Secara gradual kebutuhan dana penanganan iklim ekonomi hijau di Indonesia mencapai USD479 miliar atau kisaran Rp6.700 triliun atau Rp745 triliun per tahun hingga 2030. Suatu jumlah yang fantastis jika berkaca pada APBN yang kita miliki, alternatifnya tentu pada investasi swasta.
Sebagai contoh, Pemerintah telah memperhitungkan dana yang diperlukan untuk membiayai transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, yakni mencapai USD5,7 miliar atau berkisar Rp81,6 triliun. Biaya transisi tersebut juga terkait dengan perubahan pada industri hilir yang harus mengubah proses pengolahannya.
Kebutuhan pembiayaan tersebut tentunya tidak dapat ditanggung hanya dengan APBN. Terlebih, kondisi perekonomian Indonesia masih dalam tahap pemulihan pasca terdampak parah pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara swasta dan Pemerintah serta bantuan organisasi Internasional untuk dapat secara optimal menyokong kebutuhan pembiayaan yang sangat besar.
Namun, sejujurnya saat ini masyarakat baik itu pemerintah dan pelaku usaha belum menyadari potensi ekonomi hijau ini, sehingga sulit mengharapkan partisipasi secara luas, termasuk di dalamnya masalah sumberdaya yang mampu mengelola potensi green economic tersebut. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah hari ini. ****Pengamat***