Jalannya cerita Payung Terakhir, dimulai adanya arakan pengantin sebagai simbol payung upacara adat.
BACA JUGA:Mantap, Tim Tenis Lapangan Polda Jambi Borong Juara di Kejuaraan Nasional se-Sumatera
BACA JUGA:Pesan Gubernur Jambi Al Haris pada Final Honda DBL with Kopi Good Day 2023-2024 Jambi Series
Arakan itu dibubarkan oleh hujan, lantas dihadirkan tukang ojek payung yang menjajakan jasanya di tengah musim hujan.
Sayangnya dia tidak mendapat perhatian dan tidak satukan warga yang tertarik pada payungnya, hingga lelah dan bertarung melawan hawa dingin.
Lalu para tokoh lain membahas musim hujan yang akan diikuti oleh musim lainnya yaitu Banjir dan tanah longsor.
Lalu pambawa payung memasuki panggung yang menggambarkan, bagaimana drama-drama di dunia nyata, bicara demokrasi seperti koalisi partai serta janji-janji politik.
BACA JUGA:Polda Jambi Gelar Sunatan Massal, Catat Jadwal dan Syaratnya
Dalam permainan simbol payung, Sutradara memperlihatkan bagaimana rakyat turut mengikutinya untuk impian dan harapan yang lebih baik, tetapi kekuatan rakyat lebih besar dari semuanya.
Unjuk rasa yang dibungkus dengan nilai-nilai artistik dan simbol, menyuarakan serta mengingatkan demokrasi ialah dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.
Kemudian, Payung kematian tidak ketinggalan dihadirkan di panggung, payung yang tidak diperebutkan seperti payung warna-warni.
Payung yang terkesan malah dihindari, padahal diminta ataupun tidak diminta suka ataupun tidak suka, semua kita akan menggunakan payung itu, karena sifatnya absolut tidak bisa ditawar-tawar, ini merupakan payung terakhir.
BACA JUGA:Pj Bupati Muaro Jambi Kunjungi Warga Desa Rukam yang Terdampak Banjir
BACA JUGA:8 Tips Atasi Diare yang Efektif dan Aman
Bagian itu, juga memberikan kejutan pada penonton, Didin Siroz hadir di panggung payung terakhir memberikan pesan kematian melalui kata-kata puitis.