Seringkali, calon yang memiliki pertalian darah atau hubungan personal dengan elite partai mendapatkan prioritas untuk dilantik, meskipun mereka bukan peraih suara terbanyak.
Hal ini membuat proses seleksi terkesan tidak adil dan membuka peluang adanya praktik feodalisme di dalam partai.
Pergantian calon juga bisa disebabkan oleh konflik internal partai. Calon peraih suara terbanyak mungkin dianggap mewakili kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan pengurus pusat.
Dalam situasi ini, ada conflict of interest antara peraih suara terbanyak dan pengurus pusat, yang pada akhirnya membuat calon tersebut digantikan dengan kandidat yang lebih disukai.
BACA JUGA:Kunjungi Sumber Mulya, Masyarakat Semakin Yakin Pilih Jumiwan - Maidani
BACA JUGA:Menggali Sejarah untuk Masa Depan: Pjs Gubernur Jambi Ajak Guru Sejarah Berperan Aktif
Fenomena pergantian calon yang memenangkan suara terbanyak menunjukkan tantangan dalam sistem politik di Indonesia.
Sistem pemilu yang terbuka dan seharusnya demokratis, ternyata masih rentan terhadap praktik feodalisme dan konflik internal partai.
Calon yang bekerja keras mendekati konstituen seringkali kalah oleh faktor kedekatan dengan elite partai atau garis keturunan politik.
Masalah ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi para caleg yang maju dalam pemilu.
Mereka yang memenangkan suara belum tentu dapat dilantik jika tidak memiliki hubungan baik dengan pengurus pusat.
Oleh karena itu, pemilu tidak hanya menjadi ajang untuk meraih suara terbanyak, tetapi juga arena politik internal yang melibatkan pengaruh kekuasaan dalam partai.
Kasus pergantian calon anggota DPR dalam Pemilu 2024 memperlihatkan bahwa suara terbanyak tidak selalu menjadi jaminan untuk dilantik.
Faktor internal partai, kedekatan dengan pengurus pusat, hingga konflik kepentingan seringkali mempengaruhi keputusan akhir.